hukum nasyid..
Dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari, dia berkata: Abu 'Amir atau Abu Malik Al Asy'ari telah menceritakan kepadaku, demi Allah dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Nabi bersabda, "Benar-benar akan ada beberapa kelompok orang dari umatku akan menghalalkan kemaluan, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang benar-benar akan singgah ke lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang miskin mendatangi mereka untuk satu keperluan, lalu mereka berkata, 'Kembalilah kepada kami besok'. Kemudian Allah menimpakan siksaan kepada mereka pada waktu malam, menimpakan gunung (kepada sebagian mereka), dan merubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi sampai hari kiamat."[Hadits shahih, riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Asyribah; dan lainnya).
Ibnu Hazm men-dhaifkan hadits ini -dan diikuti oleh sebagian orang sekarang- dengan anggapan, bahwa sanad hadits ini terputus antara Bukhari dengan Hisyam bin 'Ammar.
Hal ini tidak benar, karena Hisyam adalah syaikh (guru) Imam Bukhari. Selain itu banyak perawi lain yang mendengar hadits ini dari Hisyam. [Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 38-51, karya Syaikh Al Albani.]
Maka jika nasyid itu diiringi alat musik, maka hukumnya haram. Permainan alat musik yang dikecualikan dari hukum haram, hanyalah rebana yang dimainkan oleh wanita pada saat hari raya atau sewaktu walimah pernikahan. Dengan syarat, isi nyanyiannya tidak mengandung kemungkaran atau mengajak kepada kemungkaran
Adapun nasyid yang tidak diringi alat musik, maka di bawah ini diantara fatwa para ulama sekarang:
Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
Beliau membicarakan masalah nasyid ini dalam kitab Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 182-182. Sebelum menyampaikan masalah nasyid, beliau menjelaskan tentang nyanyian Shufi. Karena eratnya hubungan antara keduanya. Kami akan meringkas pokok-pokok yang disampaikan Syaikh tentang nyanyian Shufi. Kemudian, kami akan menukilkan penjelasan Beliau tentang nasyid.
Beliau menyatakan, bahwa kita tidak boleh beribadah kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah, sebagai realisasi syahadat Laa ilaaha illa Allah. Dan kita tidak boleh beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sebagai realisasi syahadat Muhammad Rasulullah. Dan kecintaan Allah hanya dapat diraih dengan mengikuti Nabi Muhammad.
Kemudian beliau berkata, "Jika hal ini telah diketahui, maka berdasarkan sabda Nabi: Agama itu nasihat. [HR Muslim dari Tamim Ad Dari.] Aku merasa berkewajiban mengingatkan saudara-saudara kami yang tertimpa musibah (karena) memperdengarkan atau mendengarkan nyanyian Shufi, atau yang mereka sebut 'nasyid-nasyid keagamaan', dengan nasihat sebagai berikut:
Pertama. Termasuk perkara yang tidak diragukan dan tidak samar oleh seorang 'alim-pun, dari kalangan ulama kaum muslimin yang mengetahui dengan sebenarnya terhadap fiqih Al Kitab dan As Sunnah, serta manhaj Salafush Shalih. Bahwa nyanyian Shufi merupakan perkara baru, tidak dikenal pada generasi-generasi yang disaksikan kebaikannya. [Yaitu generasi sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.]
Kedua. Sesungguhnya, termasuk perkara yang sudah diterima (perkara pasti) di kalangan ulama, bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah.
Ketiga. Termasuk perkara yang pasti di kalangan ulama, (yaitu) tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak disyari'atkan oleh Allah, walaupun pada asalnya hal itu disyari'atkan. Contohnya: adzan untuk shalat dua hari raya (padahal disyari'atkan adzan hanyalah untuk shalat wajib-pen); shalat raghaib; shalawat di saat bersin; dan lain-lain.
Jika (ketiga) hal itu telah diketahui, maka mendekatkan diri kepada Allah dengan perkara yang diharamkan Allah (seperti orang-orang Shufi yang bermain musik untuk mendekatkan diri kepada Allah, pen.) lebih utama sebagai hal yang diharamkan, bahkan sangat diharamkan. Karena dalam masalah tersebut terdapat penyelisihan dan penentangan terhadap syari'at. Bahkan, pada nyanyian Shufi terdapat perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir; dari kalangan Nashara dan lainnya.
Oleh karena itu para ulama -dahulu dan sekarang- sangat keras mengingkari mereka." [Diringkas dari kitab Tahrim Alat Ath Tharb, hal. 158-163.]
Kemudian Syaikh Al Albani menukilkan perkataan para ulama yang mengingkari nyanyian Shufi tersebut. Setelah itu beliau menjelaskan masalah nasyid, dengan menyatakan,"Dari fashl ke tujuh, telah jelas (tentang) sya'ir yang boleh dinyanyikan dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas pada (keterangan) yang sebelumnya, tentang haramnya semua alat musik, kecuali rebana untuk wanita pada hari raya dan pernikahan.
Dan dari fashl yang terakhir telah jelas, bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah, kecuali dengan apa yang telah di-syari'atkan Allah. Maka, bagaimana mungkin dibolehkan mendekatkan diri kepadaNya dengan sesuatu yang diharamkan?
Oleh karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian Shufi. Sangat keras pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang menghalalkannya.
Jika pembaca dapat mengingat-ingat prinsip-prinsip yang kokoh ini di dalam fikirannya. Maka, jelaslah baginya -dengan sangat nyata- bahwa tidak ada perbedaan hukum antara nyanyian Shufi dengan nasyid-nasyid keagamaan.
Bahkan terkadang, dalam nasyid-nasyid ini terdapat cacat yang lain. Yaitu, nasyid didendangkan dengan irama lagu-lagu tak bermoral, mengikuti kaidah-kaidah musik dari Barat atau Timur, yang dapat membawa pendengar untuk bergoyang, berdansa, dan melewati batas. Sehingga tujuannya ialah irama dan goyang, bukan semata-mata nasyidnya. Hal seperti ini merupakan penyelewengan yang baru. Yaitu menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak tahu malu.
Di sebalik itu, juga memunculkan penyimpangan lain. Yaitu menyerupai orang-orang kafir dalam berpaling dan meninggalkan Al Qur'an. Sehingga mereka masuk ke dalam keumuman pengaduan Rasulullah kepada Allah tentang kaumnya, sebagaimana dalam firman Allah,
Berkatalah Rasul,"Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS Al Furqan:30).
Aku (Syaikh Al Albani) benar-benar selalu ingat dengan baik. Ketika aku berada di Damaskus -dua tahun sebelum hijrahku ke sini (Amman, Yordania)- ada sebagian pemuda muslim mulai menyanyikan nasyid-nasyid yang bersih (dari penyimpangan). Hal itu dimaksudkan untuk melawan nyanyian Shufi (yang menyimpang), seperti qasidah-qasidah Al Bushiri dan lainnya. Nasyid-nasyid itu direkam pada kaset. Kemudian tidak berapa lama, nasyid-nasyid itu diiringi dengan pukulan rebana. Untuk pertama kalinya, mereka mempergunakannya pada perayaan-perayaan pernikahan, dengan landasan bahwa rebana dibolehkan pada pernikahan.
Kemudian kaset itupun menyebar dan digandakan menjadi banyak kaset. Dan itupun tersebar penggunaannya di banyak rumah. Mulailah mereka mendengarkannya malam dan siang, baik ada acara ataupun tidak. Jadilah hal itu hiburan dan kebiasaan mereka. Tidaklah hal itu terjadi, kecuali karena dominasi hawa-nafsu dan kebodohan terhadap tipuan-tipuan syaitan. Sehingga syaitan memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan Al Qur'an, apalagi mempelajarinya. Jadilah Al Qur'an sebagai sesuatu yang diacuhkan, sebagaimana tersebut di dalam ayat yang mulia tadi.
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya 3/317, "Allah berfirman memberitakan tentang RasulNya, NabiNya, Muhammad, bahwa beliau berkata,'Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan,' hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al Qur'an dan mendengarkannya; Sebagaimana Allah berfirman,
Dan orang-orang yang kafir berkata,"Janganlah kamu mendengar Al Qur'an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya … " (QS Fushshilat:26).
Kebiasaan orang-orang musyrik dahulu, jika dibacakan Al Qur'an, mereka memperbanyak kegaduhan dan pembicaraan tentang selain Al Qur'an. Sehingga mereka tidak mendengarnya. Maka, ini termasuk sikap mereka yang mengacuhkannya, tidak mengimaninya. Tidak meyakini Al Qur'an termasuk mengacuhkannya. Tidak merenungkan dan memahami Al Qur'an termasuk mengacuhkannya. Tidak mengamalkan Al Qur'an, tidak menjalankan perintahnya, dan tidak menjauhi larangannya, termasuk mengacuhkannya. Dan menyimpang dari Al Qur'an kepada selainnya, yang berupa sya'ir, pendapat, nyanyian, permainan, perkataan, atau jalan (teori) yang diambil dari selainnya, termasuk mengacuhkan Al Qur'an.
Maka kami mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah, Pemberi karunia, Yang Maha Kuasa terhadap apa yang Dia kehendaki, agar membersihkan kita dari apa-apa yang Dia murkai. Memudahkan kita mengamalkan apa yang Dia ridhai. Berupa menjaga kitabNya, memahaminya, dan melaksanakan kandungannya, pada waktu malam dan siang, sesuai dengan maksud yang Dia cintai dan ridhai. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Pemberi."[Sampai disini nukilan dari Ibnu Katsir, sekaligus selesailah perkataan Syaikh Al Albani. Tahrim Alat Ath Tharb, hal.182-182.]
Komentar
Posting Komentar