Pria Itu


20 tahun, usia yang kubilang masih cukup muda untuk mengawali lembar kasih berdua dalam sebuah ikatan.  Apalagi dia seorang pria, dengan 3 adiknya yang  lebih belia. Namun, itulah yang terjadi, tak ada yang bisa melawan kehendak Illahi.  Ketika rasa itu datang menyapa, mesin waktu seolah tertahan, hanya dua pilihan, take it or leave it, dan sebuah keputusan pun diambil. Dalam keterbatasan gerak, dalam  kesederhanaan hidup dan dalam keberanian sikap, sebuah opportunity cost pun harus dibayarkan, dan akupun banyak belajar dari pria itu.
Pria itu mengajarkan padaku bahwa Allah bersemayam dalam setiap jiwa mukmin dan mengawasi hambaNya, tak ada yang luput dari pengawasanNya.

Pria itu mengajarkanku bahwa ibadah tak sekedar rutinitas, tapi pengabdian.

Pria itu, mengajarkanku tentang makna perjuangan, di saat hidup menghadapkan kita dalam sebuah tantangan yang harus dihadapi.

Pria itu, mengajarkanku makna keberanian, karena hidup ini adalah sikap mengambil keputusan.

Pria itu, mengajarkanku tentang makna pengorbanan, kala hidup memaksa kita untuk memberikan bayaran.

Pria itu, mengajarkanku menjadi dewasa, di saat diriku tak pantas lagi kekanakan.

Pria itu, mengajarkanku  perilaku  kedisplinan, kala makna dispilin itu menjadi hal langka dalam hidup.

Pria itu, mengajarkanku berkata jujur, di saat hidup ini penuh dengan kebohongan.

Pria itu, mengajarkanku kesabaran, meski hidup banyak keluhan.

Pria itu, mengajarkanku  perencanaan, di saat hidup ini tersesaki dengan ketergesaan dan tak beraturan.

Pria itu, mengajarkanku kesetiaan, di saat hidup ini tersesaki dengan perselingkuhan.

Pria itu mengajarkanku bertanggungjawab, di saat orang lalai dengan amanah.

Pria itu mengajarkanku menjadi pemimpin, meski diriku bukan pimpinan.

Pria itu mengajarkanku bangga dengan kerjakerasku sendiri, tak sekedar bangga dengan kebanggaan semu.

Pria itu mengjarkanku berbudaya, di saat budaya mulai ditinggalkan.

Pria itu mengajarkanku berjuang mendapatkan yang terbaik, di saat oranglain terima apa adanya.

Pria itu mengajarkanku kelembutan, ketegaran, kejujuran, kesabaran, kehidupan.

Pria itu, sosok  yang sangat kucintai.

Dulu, aku tak paham dengan jalan pikirannya, mau dibarahkan kemana diriku ini, tiap akhir pekan dilatih berenang, seminggu dua kali latihan menari, tiap sore belajar ngaji, sekolah jauh dari rumah, berangkat sekolah menjadi pembuka pagar, tak ada uang untuk beli ini itu kecuali usaha sendiri, jika ada kesalahan tak segan ikat pinggang kulit yang melingkar di pinggangnya membuat bekas tato merah di badanku. Namun sekarang, bisa kumaklumi, bagaimana di usia yang terbilang “remaja” menuju “dewasa”, kelabilan sikap dan inkonsistensi emosi masih mendominasi, tak jarang lantunan kata  bak pedang ataupun belaian tangan yang terasa menghantam tanpa sadar tersampaikan. Tapi, dengan kelembutan seorang wanita yang setia mendampingi hari-harinya yang jernih dan tenang, batu yang keras pun perlahan melunak dan mengalirkan air yang sempat tertahan karena kerasnya melalui celah-celahnya, dan kini, batu itupun seakan melunak, karena ketenangan air, ibuku.

Apalagi setelah kehadiran sosok-sosok mungil yang merah melengkapi kebersamaan. Di saat tangis dan tawanya adalah hiburan tersendiri yang mungkin tak terbayar dengan gaji seorang presiden sekalipun. Namun, adakalanya rengekan yang teralun dari bibir kecil itu menjadi petir yang menyambar-nyambar. Masih dalam instability emotion, kehidupan manusia yang fluktuatif inilah yang mendewasakan, bagi orang-orang yang sabar dan mau mengambil hikmah, pria itu, tumbuh dalam dinamika kehidupan yang mendewasakan, yang pada waktunya  dengan caranya dia mengajarkan pengalaman-pengalaman dalam nasehat bertuah kepada generasi penerusnya.

Kini, aku mulai menyadarinya, pria itu, punya cara tersendiri mengekspresikan sayangnya, bukan dengan pujian, ataupun kata-kata semat namun dalam perilaku, memang terkadang tak bisa kutangkap maknanya, namun, pria itu, ternyata sosok terbaik dalam kisahku, yang mengajarkanku hidup. Pria itu, adalah pria terbaik sepanjang masa, karena pria itu adalah bapakku. Ngaturaken sagunging pangaksami dhumateng panjenengan romo, sembah bekti  saliraning tresna saking putri kang kathah kalepatan.




Komentar

  1. spt ada 2 tokoh yg berbeda...jika itu adh Bapak, beruntunglah dirimu sebagai anaknya mee... tapi...jika itu si conan...kyknya rencana pernikahanmu hrs disegerakan!!!!org itu sdh terlalu banyak menguasaimu mee...


    *ato persepsi q sj yg salah... hanya Allah dan dirimu sendiri yang tau, eeemmmm ato mungkin si conan juga tau...hehehehe....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gajah Abrahah

Fitrah Based Education

Umar