Untuk Hidup Apa Yang Ku Beri

Jumat 3 Januari 2020.


Alhamdulillah, Allah mampukan kami sampai di bumi reog dan menapak di pondok madani. Sebelumnya saya dan suami sudah lama berencana datang ke tempat ini, hanya saja qodarullah berkali-kali berencana ke sini belum bisa terlaksana. Dan ketika kemarin Allah mampukan datang ke sini alhamdulillah, tsumma alhamdulillah. Banyak oleh-oleh yang bisa saya pulang sebagai bekal pembelajaran anak dan evaluasi diri.
Ini adalah salah satu proker keluarga. Safari pondok pesantren sebagai sarana memperkenalkan anak dengan kehidupan berpondok.
Dan pondok pertama yang kami kunjungi adalah pondok pesantren madani Gontor 1 Putra di Ponorogo.

Perjalanan yang ternyata hanya 1 jam perjalanan dari kampung halaman saya, menerabas hujan lebat dan sedikit berkabut, melewati jalan pedesaan Parang dan menembus hutan hingga akhirnya kita sampai di desa Gontor, Mlarak, Ponorogo.
Sampai di sana, kami disambut dengan suasana pondok yang adem, tenang, menghilangkan definisi ngeri dan kaku (sementara). Sekilas pandang aku melihat mereka berasal dari beraagam suku di nusantara. Hal ini diperkuat dengan mendengar aksen bicara mereka yang memang khas dari masing-masing daerah. Nampak beberapa santri putra yang nampak gagah dengan jas hitam dan sepeda onthelnya sedang berkeliling pondok. Di sudut yang lain, nampak barisan pemuda sholeh nan rapi dengan sarung yang terpakai ciamik dan sajadah menyampir di bahu kanannya. Menoleh dari sebuah ruangan gedung semacam auditorium, beberapa pemuda nampak berkeringat tapi tetap gagah mengangkut barang-barang sisa pagelaran. Ada juga satu ruangan depan masjid yang penuh dengan antrian santri yang sepertinya menunggu surat ijin safari keluar pondok. 
Mengamati setiap sisi gedung aku serasa masuk ke dalam film Negri 5 Menara dan menyamar jadi bagian produksi film tersebut, bayangkan saja diriku paling syantik di antara semua pria di sana haha karena memang di sana markas santri putra. Aku bisa melihat setiap bangunan dengan riil, meskipun sudah ada beberapa yang nampak dipugar.
Menjelang waktu ashar, para santri bersarung yang menyelempangkan sajadah di bahunya berjalan menuju masjid. Sekitar 15 menit sebelum adzan, aku melihat seorang anak dengan papan nama kelas V memukul lonceng, seruan otomatis santri mempercepat langkahnya tanpa berlari. Ternyata, santri yang datang setelah lonceng berbunyi sudah ditunggu oleh tim disipliner untuk mendapat teguran dan sanksi. Begitu adzan berkumandang tim disipliner tadi hilang, ganti beberapa ustadz muda berjaga, ternyata ketika sampai di tangan ustadz, sudah meningkat lagi sanksinya, jika tadi mereka dapat hukuman squat jump dari kakak kelas, nah yang ini ni, sampai ke ustadz mereka dihukum masuk ke ruangan dan keluar dengan rambut petal.
MasyaAllah, dulu di sekolahku murid dihukum karena telat jam pelajaran atau bandel. Di sini lebih tinggi derajatnya, santri dihukum karena ketidaksiapan menyambut perintah wajib Allah. Yang aku yakini, hal ini pasti membentuk karakter mereka. Langsung auto nglirik ke anak karena takut dia sudah takut dengan adegan seperti ini, alhamdulillahnya tidak.
Satu lagi adegan yang luar biasa masyaAllah adalah adegan selesai sholat, bagaimana dari masjid hijau tersebut keluar ribuan jamaah yang pasti sholat jamaah minimal 5 kali sehari. Bayangkan jika seluruh masjid di Indonesia bisa demikian jamaahnya, tidak hanya besar secara fisik tapi juga besar secara kualitas dan kuantitas jamaah. Amiin.
Selepas ashar mereka bebas beraktivitas, ada yang berolahraga, lari, futsal, volly, ada yang menenteng bola basket entah mau ke lapangan mana. Ada juga yang bawaannya buku dan kamus, ada beberapa yang sambil jalan komat-kamit baca mantra, eh ayat, masyaAllah pemandangan yang seolah oase di tengah jaman yang sedang kemelut saat ini.
Ada satu tulisan yang makjleb ketika kita dalami, terpampang besar di bangunan dekat masjid utama, KE GONTOR APA YANG KAU CARI. Di sana pula aku merasa tergampar saat mendengar kata lughotul arabiya lughotul jannah, aku berpikir lagi, ya Allah aku bercita-cita masuk surga tapi sampai sekarang aku belum serius mempersiapkan bahasa penduduk surga, hafalan masih minimalis, sholat wajib ala kadarnya apalagi yang sunah, astagfirullah.
Pulang dari Gontor ada satu jargon yang aku bawa, UNTUK HIDUP APA YANG KUBERI, agar aku teringat dengan kehidupan yang abadi, agar aku bersiap menuju jalan menuju ilahi Robbi, khoirunnas anfauhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Semoga tulisan ini bermanfaat mengawali proyek Inspirasi Ummi :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gajah Abrahah

Fitrah Based Education

Umar