An Act of Muslimah Faith
“Menjadi sebenarnya muslimah adalah dengan menjaga aurotnya, mendaulahkan kitab Al Quran, mentaati suami sehingga setelah berproses bisa menjadi permata bagi Islam, meskipun sudah pecah berhamburan, sekecil apapun sebuah permata tetap akan bermakna”(Mei yunlusi)
Secercah cahaya menyeruak masuk melalui jendela kecil dari sisi timur “motivation room”. Menyinari sudut ruangan yang mayoritas dipenuhi barang warna hijau. Nampak ada segaris cahaya yang membawa butiran debu-debu halus menuju sumber cahaya menerjang arah angin. Di ujung pandanganku, tepat di balik pintu tergantung beberapa helai jilbab dan gamis. Tak rapi memang untuk dilihat mata, karena aku hanya asal gantung saja. Bibirku pun mengukir senyum seketika, sekelebat memori tentang awal mula aku memutuskan dan meneguhkan hati dan berazam untuk menutup rapat – rapat anugrah yang Allah berikan ini, sebuah keputusan yang menjadi keputusan terindah, insyaAllah.
Mengutip syair dari tim nasyid Fatih (Anugrah Yang Terindah)
…
Anugrah yang terindah
yang kini kuanggap
adalah saat diriku mulai berubah
Anugrah yang terindah
yang kini kuanggap
saat kumulai semua hidup yang baru
yang kini kuanggap
adalah saat diriku mulai berubah
Anugrah yang terindah
yang kini kuanggap
saat kumulai semua hidup yang baru
…
Dan dengan bangga pun aku mengutip syair tersebut, bahwa anugrah yang terindah yang kini kuanggap adalah saat diriku mulai berubah memulai hidup yang baru dengan cover jilbab, sebagai sebuah aksi nyata keimanan wanita muslimah.
Sebenarnya aku lupa sejak kapan tepatnya aku berjilbab, akan tetapi sedikit flash back ke masa lalu, yang kuingat pertama kali mengenakan jilbab ke sekolah saat aku kelas XI, pada bulan April 2007, jadi alhamdulillah sudah hampir 4 tahun aku berjilbab. Ketertarikan untuk memakai jilbab pertama kali kuutarakan pada temanku, yang saat itu menjadi salah satu orang penting SMASA, dan juga bisa dibilang sebagai aktivis dakwah sekolah, atau biasa disebut ikhwan. Saat SMA interaksi ikhwan dan akhwat tidak setegas seperti di kampus, hubungan kita masih biasa saja, karena masih tahap belajar mungkin, apalagi saat itu aku pun hanya aktivis organisasi biasa, bukan rohis. Bahkan organisasiku sangat berbeda dengan rohis. Berada di dunia entertain, di broadcast dengn segala hingar bingarnya. Basecamp ekskul broadcast kami berada tepat di depan ruang imam masjid. Ironis memang, jika di masjid ada kajian atau diskusi kelompok kecil yang membahas isu keislaman, di ruang broadcast malah gila-gilaan dengan siarannya. Bahkan, tak jarang sound monitor pun kami nyalakan dengan kencang-kencang. Dulu pun aku menganggap bahwa aktivitas yang mereka namakan “liqo’” itu hanyalah cangkrukan biasa. Namun, behubung jadwal siaranku sore, biasanya aku ikut – ikutan menghabiskan waktu sambil menunggu waktu siaran di teras masjid Al Hakim SMASA, sekedar penasaran kemudian ikut mendengarkan diskui mereka. Diskusi tentang agama, di lain hari latihan membuat ketrampilan, kemudian rujakan bareng, ada hasrat untuk ingin ikut. Hingga akhirnya mbak senior, yang bahkan aku lupa siapa namanya, yang mereka sebut dengan Murrobi’ tak bosan – bosan dan dengan ramahnya menyapaku membuatku tambah penasaran dan bergumam“apa sih sebenarnya yan mereka lakukan?”. Nah saat itu pula aku sering bertanya kepada teman – temanku sang aktivis rohis, kemudian tanpa diketahui secara pasti pula, aku terjerumus ke dalam “lingkaran dakwah” tersebut. Cipika-cipiki, dan sapaan akh-ukh, ihh, apaan tu, risih juga diriku, tapi lama – kelamaan aku menikmati juga sapaan itu, kena karma yang baik mungkin ya. Melihat kebiasanku yang sering nyangkruk di masjid, teman – teman di broadcast sering menyindir dan menertawakanku, julukan “sok alim” pun menjadi predikatku untuk beberapa waktu. Beberapa bulan bergumul dengan “komunitas akhwat berjilbab” mengusik batinku juga, malaikat berkali – kali berbisik dan menggoda hati engganku untuk segera menutup aurat secara syumul, tidak hanya berhijab hati, tapi membuktikan dengan sebuah aksi seorang muslimah sejati, berjilbab, bahwa penggunaan jilbab merupakan suatu identitas khas Islam yang mampu menyatukan kaum Muslimin menjadi satu tubuh. “Jilbab bukan saja sebagai identitas Muslim, tetapi lebih dari itu, sebagai alat pemersatu, sebagai pembeda, antara kaum Muslimin dengan yang lainnya.”
Apalagi ditambah lagi dengan kajian tentang kewajiban berjilbab yang diterangkan beberapa waktu lalu. Terbayang perkataan Rasul, “Ada dua golongan penghuni neraka yg aku belum pernah melihatnya Laki-laki yg tangan mereka menggenggam cambuk yg mirip ekor sapi utk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” Wanita-wanita yg digambarkan Rasul dalam hadis di atas sekarang banyak sekali kita lihat. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang mentradisi dan dianggap lumrah. Mereka adalah wanita-wanita yang memakai pakaian tapi telanjang. Sebab pakaian yg mereka kenakan tak dapat menutupi apa yang Allah perintahkan utk ditutupi. Aturan mengenai jilbab ini pun diatur dalam beberapa ayat yang menjelaskan tentang kewajiban berjilbab, yaitu Surat An Nur ayat 31 dan Surat Al Ahzab ayat 53 dan 59.
Saat aku menyampaikan I’tikadku untuk berjilbab keada kedua orang tuaku, semula mereka menentang, sebagi masyarakat awam yang tidak terlalu dalam mengkaji Islam, yang dikatakan oleh Ibu adalah berjilbab itu ribet, istilah jawanya “ibak-ibuk”, gerah dan keraguan tentang kontinuitas berjilbabku nanti. Selain itu yang menjadi pertimbangan ibuku adalah bahwa aku sudah hampir kelas 3, jadi “eman” jika harus menjahit seragam lagi. Kemudian aku curhat ke salah seorang teman, yang dia lakukan adalah memberi tahuku tentang keberadaan “peti biru” di ujung emperan masjid SMASA, dimana di dalamnya banyak seragam-seragam senior yang dihibahkan. Beginilah kiranya Allah memudahkan, dan keyakinan bahwa dimana ada kemauan di situ ada jalan, sesungguhnya saat
saat itu kumulai sebuah hidup yang baru.
Barulah hari Senin kemudian, teman – temanku banyak yang kaget, termasuk temanku yang biasanya jadi tempat curhatku pun berkulum senyum, dan sekian banyak doa terucap dari teman – temanku yang tak henti – hentinya Allah memberiku kemudahan melalui perantaranya, yakni teman – temanku. Meskipun saat itu sindiran dari teman yang lain juga menghampiri, namun rupanya julukan “sok alim” itu tidak terlalu bergaung di telingaku, mungkin hanya seperti amplifier jangkrik bagiku, tak terlalu mengganggu. Di awal mula memang aku tak terlalu pandai menata riasan jilbabku, berkali – kali melorot dan aku harus ijin ke toilet untuk mebenarkan dan merapikannya. Pun berkipas dengan buku karena “ungkep”, akan tetapi ada kenikmatan tersendiri saat bisa menunjukkan cinta kita kepada Allah sebagai wanita dengan aksi nyata kita, berjilbab.
Sebagai sebuah perjuangan, kami percaya nilai kemuliaan yang lain. Ibarat seorang song-writer, yang menuliskan syair-syair nasyid dan menciptakan nada, juga harus mempertimbangkan kemampuan tim-nya. Mencari celah bagaimana agar lagunya akan enak dinyanyikan, bukan oleh dirinya sendiri, tapi oleh kelompok. Seorang song writer dalam kelompok nasyid, juga harus memiliki kelapangan dada, jika kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dalam lagu yang telah dikarangnya berjam-jam, bahkan berminggu, demi kebaikan bersama. Semoga kisah ini seakan menjadi syair nasyid penggugah dan bisa mengisnpirasi rekan – rekan yang lain, bergegas beraksi dan mengukuhkan jilbabnya bagi yang sudah berjilbab, dan bergegas menutupnya bagi yang belum.
Keikhlasan, adalah kunci yang membuat kita bisa yakin mengerjakannya dengan baik. Ikhlas, sebab menganggap, apapun perannya, betapapun kecil- terkesannya, semua saling mengisi, sambil berharap mudah-mudahan bisa menjadi ladang amal bagi yang lain.
Wallahualam..
Komentar
Posting Komentar