Fitrah Based Education
Renungan Pendidikan #1
Sesungguhnya hanya kedua orangtualah yg paling kenal potensi keunikan
anak2nya. Dari sanalah karakter2 baik dikembangkan dan disempurnakan
dgn akhlak mulia. Kedua orangtuanya lah makhluk yg paling mencintai dgn
tulus anak2nya. Orangtua sejati adalah mereka yg menginginkan
kebahagiaan anak2nya lebih dari apapun di muka bumi.
Dunia persekolahan adalah dunia yg tdk pernah mengandung anak2 kita,
tdk pernah melahirkan anak2 kita bahkan tdk pernah diberi amanah oleh
Allah swt sesaatpun juga, krn itu persekolahan bukanlah dunia yg
sungguh2 mampu mengenal dan mencintai anak2 kita dgn tulus dan ikhlash.
Bukankah anak kita adalah alasan terbesar dan terpenting mengapa kita
ada di muka bumi ini? Merekalah sbg amanah mendidik generasi peradaban
bagi dunia yg lebih damai dan sbg amanah yg akan membanggakan Ummat
Muhammad di yaumilqiyamah kelak.
Membangun “home education” bukanlah pilihan tetapi kewajiban setiap
orangtua, porsi kuantitas waktu dan kualitas perhatiannya mesti jauh
lebih banyak bahkan meniadakan porsi persekolahan.
Sayangnya banyak ortu yg menganggap kewajiban mendidik telah selesai
ketika anak2 berada sepenuh waktu di sekolah dan di lembaga2 kursus.
Obrolan ttg pendidikan adalah obrolan seputar ranking, ijasah, prestasi2
akademis dan tugas2 sekolah yg dibawa ke rumah, bukan tentang
mengembangkan karunia fitrah yg anak2 kita miliki.
Mari kembalikan fitrah kesejatian peran orangtua, kesejatian fungsi
rumah, kesejatian pendidikan, kesejatian anak2 kita. Jangan sekali2
merubah fitrah kesejatian itu semua krn itulah sesungguhnya penyebab
berbagai krisis dan kerusakan di muka bumi.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
_________________________
Sesungguhnya masa mendidik anak kita tidaklah lama, itu hanya
berlangsung sampai usia AqilBaligh (usia 14-15 tahun). Sebuah masa yg
singkat, masa yg cuma seperempat dari usia kita – orangtuanya – jika
Allah berikan jatah 60 tahun.
Padahal anak2 dan keturunan yg sholeh akan menjamin kebahagiaan
akhirat kita dalam masa yg tiada berbatas. Lalu mengapa amanah terindah
ini kita sia siakan dengan mengirim mereka ke lembaga, ke asrama, ke
sekolah dll sebelum masa aqilbaligh mereka tiba.
Jika demikian, lalu apa yg ada dalam benak kita ttg amanah terindah
dan kesempatan utk kekal bahagia di akhirat nanti?Jika demikian, lalu
apa yg kita akan jawab di hadapan Allah swt ttg pendidikan mereka?Apakah
lembaga, asrama dan sekolah akan dimintai tanggungjawab di akhirat
kelak?
Jika demikian masihkah kita berharap syurga dari doa2 anak2 kita,
padahal mereka dititipkan pd pihak ketiga yg tdk dimintai tanggungjawab
sedikitpun dan diragukan doanya dikabulkan?
Bukankah ketika usia mereka dititipkan itu masih menjadi tanggungjawab kita?
Bukankah doa yg dipanjatkan oleh orang2 seiman yg bertalian darah akan lebih diterima Allah swt?
Setiap yg beriman pd AlQuran pasti tahu jawabannya. Bahkan memelihara anak yatimpun sebaiknya dalam dekapan keluarga yg utuh bukan cuma disantuni, apalagi anak kandung yg jelas menjadi tanggungjawab penuh kedua orangtuanya.
Bukankah doa yg dipanjatkan oleh orang2 seiman yg bertalian darah akan lebih diterima Allah swt?
Setiap yg beriman pd AlQuran pasti tahu jawabannya. Bahkan memelihara anak yatimpun sebaiknya dalam dekapan keluarga yg utuh bukan cuma disantuni, apalagi anak kandung yg jelas menjadi tanggungjawab penuh kedua orangtuanya.
Lihatlah wajah teduh anak2 kita ketika mereka terlelap, beberapa
tahun ke depan wajah2 ini akan berubah menjadi wajah orang dewasa yg
setara dengan kita, lalu kita tdk punya lagi kesempatan memperbaiki
karakter yg sdh terbentuk, apalagi menyempurnakan akhlak mereka.
Lalu apa yg kita jawab dihadapan Allah swt atas karakter2 yg sudah
terbentuk tadi? Apakah kita mampu berlepas tangan dari tanggungjawab
kita di akhirat?
Ayah Bunda, mari kita didik anak2 kita dengan tangan, hati, mata,
telinga, lisan kita sendiri. Membangun Home Education bukanlah pilihan,
namun kewajiban setiap orangtua yg beriman, itu tdk memerlukan
penjelasan dan pembuktian lagi.
Pada galibnya anak2 kita akan hidup lebih lama dari kita, walau bisa
saja mereka mendahului kita dipanggil Sang Khalik. Dalam menjalani masa
depannya nanti – yg tanpa kehadiran kita – anak2 kita akan mengenang
kita.
Anak2 kita memerlukan kenangan2 yg memunculkan kesan2 dan imaji2 yg baik, positif, tulus, penuh cinta dan utuh ttg masa lalu mereka bersama kedua orangtuanya, itu semua agar mereka kuat menghadapi masa sendiri ketika mereka kelak dewasa.
Anak2 kita memerlukan kenangan2 yg memunculkan kesan2 dan imaji2 yg baik, positif, tulus, penuh cinta dan utuh ttg masa lalu mereka bersama kedua orangtuanya, itu semua agar mereka kuat menghadapi masa sendiri ketika mereka kelak dewasa.
Dan itu hanya diperoleh pada masa yg singkat 15 tahun pertama dalam
kehidupannya, yg diberikan oleh orangtuanya dgn tulus dan ikhlash yg tak
tergantikan oleh siapapun.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
______________________
Renungan Pendidikan #3
Sesungguhnya tidak ada seorangpun anak yg berdoa dan berharap lahir ke dunia dalam keadaan nakal dan jahat.
Jika sempat lihatlah wajah-wajah bengis mengerikan anak dan remaja yg tawuran, atau perhatikan wajah sayu dan tatapan kosong anak2 depresi dan korban narkoba, atau jenguk jiwa2 remaja galau melalui mata bingung dan frustasi mereka dibalik tawa dan canda yg tak bermakna.
Jika sempat lihatlah wajah-wajah bengis mengerikan anak dan remaja yg tawuran, atau perhatikan wajah sayu dan tatapan kosong anak2 depresi dan korban narkoba, atau jenguk jiwa2 remaja galau melalui mata bingung dan frustasi mereka dibalik tawa dan canda yg tak bermakna.
Maka jujurlah apakah mereka mau ditakdirkan demikian? Maka jujurlah
apakah Allah swt menghendaki keburukan bagi hamba2Nya? Maka jujurlah,
apakah itu dosa mereka shg mereka demikian?
Sesungguhnya mereka adalah korban kelalaian kita para orangtua,
mereka korban obsesi dan kesembronoan yg merusak fitrah baik mereka.
Ingatlah bhw mereka dahulu adalah bayi2 mungil yg lucu, yg senyum, tawa
dan tangisnya meluluhkan hati siapapun. Lalu bagaimana bisa di kemudian
hari bayi2 ini menjadi beringas, nakal dan jahat?
Sesungguhnya setiap anak yg lahir dalam keadaan fitrah. Sesungguhnya
juga bhw Allah tdk akan merubah semua fitrah baik yg ada dalam diri
mereka sampai lingkungan, sistem pendidikan, orangtua dll berbuat
gegabah “sok tahu” merubahnya shg terluka, tersimpangkan, atau terpendam
selama2nya.
Anak2 kita bukanlah kertas putih yg bisa kita jejali dgn tulisan
sebanyaknya dan semaunya, bukan! Anak2 kita adalah mutiara terpendam yg
mesti disucikan dan disadarkan akan keindahan keunikan mutiara yg mereka
dtakdirkan Allah swt utk memilikinya. Mutiara yg tdk perlu diasah,
hanya perlu diletakkan pd tempat yg sesuai dan terang agar cahayanya
berkilau sempurna. Berbaik sangkalah kpd Allah swt.
Jangan gegabah menjejali mutiara ini dengan beragam zat imitasi dgn
maksud agar semakin indah. Tidak perlu. Mutiara ini hanya perlu
ditemani, disentuh dengan cinta yg tulus, dan diletakkan pd tempat dan
sudut yg tepat shg cahayanya berpendar pendar indah menebar manfaat
rahmat menyelimuti dunia. Cahayanya menjadi penyejuk mata kita,
sebagaimana doa2 kita ttg keturunan yg baik.
Maka, yakinlah bahwa mutiara akan bertambah indah bila berkumpul
dengan mutiara. Mutiara akan tenggelam dalam lumpur hitam yg pekat.
Yakinlah ruh2 yg baik akan merapat bershaf2 menuju kemuliaannya. Maka
perbaikilah fitrah kita wahai orangtua, sucikanlah fitrah kita sebelum
kita mensucikan fitrah anak2 kita melalui pendidikan.
Sesungguhnya apa yg keluar dari fitrah yg baik akan diterima oleh
fitrah yg baik. Apa yg keluar dari hati yg bersih dan damai maka akan
tiba di hamparan hijau hati yg bersih dan damai. Apa yg hanya dari mulut
semata, maka akan berhenti di telinga saja.
Mari kita renungkan, siapakah di muka bumi makhluk yg paling ridha
mensucikan diri demi anak kita? Saya yakin anda bisa jujur menjawabnya…
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
___________________
Renungan Pendidikan #4
Bila anda memiliki beberapa anak, maka perhatikanlah baik baik, bahwa
walau mereka pernah berada dalam rahim yang sama, ayah ibu yang sama,
lahir di rumah sakit yang sama, bahkan lahir kembar identik sama dstnya,
namun mereka sesungguhnya takkan pernah sama, mereka memiliki keunikan
dan kekhasan masing2 yg berbeda. Bukan hanya ciri fisik namun juga sifat
bawaannya masing masing.
Sampai kapanpun seorang kakak tidak akan pernah menjadi adiknya, dan
seorang adik tidak pernah menjadi kakaknya. Anak kita tidak akan pernah
menjadi versi kedua dari orang lain kecuali jika kita memaksanya
demikian dengan membuatnya menderita karena mengingkari jatidirinya.
Ingatlah bahwa seseorang tidak akan menjadi maksimal jika dipaksa
menjadi atau menjalani sesuatu yang bukan dirinya. Alangkah bodohnya
meminta kuda menjadi ikan, menyuruh ikan menjadi burung, memaksa burung
menjadi kuda. Apakah kita pernah memanjatkan doa doa agar anak kita
menjadi seperti anak orang lain?
Bukan Allah Yang Maha Mendengar, tidak berkenan mengabulkan doa2
kita, karena apa jadinya jika kuda didoakan agar menjadi ikan, maka akan
lahir makhluk aneh (bukan unik) yang bukan hebat bahkan menjadi
mengerikan atau menggelikan.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap anak itu unik. Maka, janganlah
pernah memaksa anak anak kita utk meniru orang lain, menyuruh mereka
seperti anak tetangga, menceramahi setiap hari kehebatan anak orang
lain. Maksud berbuat obsesif begitu apa ya?
Apakah kita yg menciptakan anak kita sehingga kita tahu anak kita
harus menjadi apa kelak? Bukankah Allah yang menciptakan mereka, bahkan
kita tidak pernah tahu tujuan spesifik penciptaan anak kita, apa misi
spesifik anak2 kita di muka bumi? Tugas kita hanyalah menemani mereka
dalam menemukan, menyadari dan menjaga fitrah nya, termasuk fitrah bakat
atau potensi uniknya.
Karena itu, sejatinya memang tidak ada 1 kurikulumpun cocok utk semua sekolah bahkan cocok utk semua orang.
Setiap satuan pendidikan bahkan mesti punya kurikulum khas satuan
pendidikan itu bukan kurikulum nasional apalagi yg cuma sekedar basa
basi mulok.
Setiap anak bahkan memerlukan personalized education terkait potensi
dan character unik serta “curriculum” vitae nya masing masing.
Ketahuilah bahwa tidak ada satu obat ajaib (one magic medicine) untuk
semua jenis penyakit, bahkan tidak ada satu komposisi gizi yg cocok utk
semua orang.
Siapapun yang mencoba mendikte akan jadi dikator. Betapa jeniusnya
KHD yang menempatkan negara hanya pendorong, sbg Tut Wuri Handayani dan
memerankan Guru sebagai pamong.
Betapa bijaknya Rasulullah SAW yang tidak meninggalkan kurikulum
untuk semua orang, tetapi cukup membuat panduan bagi setiap orang agar
menyelaraskan panduan itu dengan potensi dan karakter unik dirinya
masing masing dalam rangka memuliakan dan menyempurnakan akhlaknya.
Jadi sesungguhnya apa yang mau diperbaiki atas kurikulum pendidikan
nasional, kecuali meninggalkannya lalu membuat kurikulum personal
sendiri utk anak2 kita sendiri yg berbeda dari anak lain? Karena setiap
anak adalah begitu istimewa…
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
_____________________
Renungan Pendidikan #5
Apa yang disisakan dari sebuah rumah tangga atau keluarga tanpa ada
aktifitas pendidikan di dalamnya?Apakah rumah kita hanya sebuah ruang
hampa tempat makan dan tidur serta (maaf) mandi dan buang hajat?
Sebagaimana AlQuran akan menerangi rumah kita dengan membaca dan
mentadaburinya, maka sebuah rumah tangga atau keluarga dengan aktifitas
pendidikan juga akan dipenuhi cahaya.
Sebuah rumah tanpa aktifitas pendidikan di dalamnya, bagai ruang
kusam dan gelap krn di dalamnya tidak ada proses saling memberi cahaya
yaitu proses mendidik dan dididik, tidak ada nasehat utk saling
menyadarkan dan disadarkan, begitupula tidak ada keceriaan dan
kepercayaan utk saling menumbuhkan dan ditumbuhkan.
Sebuah rumah tangga bukan hanya kumpulan fisik layaknya kandang
ternak, namun dia sepenuhnya lebih kepada kumpulan ruh, hati dan
fikiran.
Apa jadinya jika fikiran dan hati ayah sehari hari adalah fikiran
tentang pekerjaan dan masalah kantor serta hobby yg dibawa ke rumah yg
menyerobot hak pendidikan anak dan keluarganya?
Apa jadinya jika fikiran dan hati anak adalah fikiran dan perasaan
tentang pekerjaan dan masalah sekolah yang dibawa ke rumah, yg
menyerobot hak orangtua utk mendidiknya?
Lalu apa jadinya pula jika fikiran dan perasaan bunda sehari hari
adalah fikiran dan perhatian tentang pekerjaan dan masalah kantor dan
rumah sehari-hari yang tidak kunjung habisnya.
Tentu saja pasti ada orangtua yg memiliki fikiran dan keinginan utk
mendidik di dalam rumah, namun sayangnya wacana dan pembicaraan sekitar
pendidikan adalah bukan pembicaraan tentang kesejatian sebuah
pendidikan.
Pendidikan bagi banyak keluarga adalah tentang pekerjaan sekolah yg
dibawa ke rumah, lalu sekolah sewenang2 memberi nama pekerjaan itu
sebagai pekerjaan rumah bukan pekerjaan sekolah, padahal berbeda antara
aktifitas sekolah dan aktifitas rumah.Begitulah aktifitas sekolah banyak
menyerobot aktifitas rumah yg luhur yg sdh ada sejak ribuan tahun lalu.
Mindset kita tentang makna sukses pendidikan adalah makna kesuksesan
berupa sekolah favorit, rangking, ijasah dan gelar yg menggantikan makna
sukses pendidikan sejati yaitu utk menyadari peran penciptaan di muka
bumi serta memberi manfaat yg banyak bagi sesama dan semesta.
Makna sosialisasi anak sering dimaknakan dengan makna hadirnya
bersama teman-teman seumuran dalam ruang kelas seharian, yg menggantikan
makna relasi sosial antar usia yang lebih luas.
Makna belajar lebih sering dimaknakan dengan kegiatan menghabiskan
bahan pelajaran dan persiapan ujian, menggantikan makna belajar sejati
untuk menjadi diri seutuhnya.
Makna tentang tempat belajar yang selalu diberi stigma bahwa tempat
belajar terbaik hanya di sekolah saja, menggantikan semua tempat belajar
yang lebih baik di muka bumi.
Fikiran ayah sehari2 ttg pendidikan anak2nya adalah menyediakan biaya
sebanyak2nya agar dapat bersekolah setinggi2nya.Fikiran anak sehari2
ttg pendidikan adalah menyelesaikan pekerjaan rumah secepat secepatnya
dan sebanyak2nya, lalu kuliah setinggi mungkin.Fikiran bunda sehari2
tentang pendidikan adalah memastikan sang ayah menyediakan biaya untuk
sekolah dan memastikan sang anak menyediakan waktu untuk bersekolah
sepenuh masa anak2 dan sepenuh masa sebelum aqilbalighnya.
Apa yang sesungguhnya diniatkan oleh mereka yang menikah bila
memaknakan pendidikan seperti itu? Apakah artinya sebuah keinginan
mendidik bila tanpa berwujud aktifitas mendidik anak2nya sendiri dengan
pendidikan sejati yang sesungguhnya?
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
________________________________
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
________________________________
Renungan Pendidikan #6
Apakah Allah swt lalai ketika mentakdirkan kedewasaan biologis
seseorang di usia 13-15 tahun dan pada saat yang sama telah jatuh semua
kewajiban syar’i, bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga jihad, nafkah
dan kewajiban sosial lainnya?
Apakah Rasulullah SAW lalai ketika menikahkan Usamah bin Zaid ra,
seorang sahabat muda ketika Rasulullah saw berusia senja, saat Usamah
berusia 14 tahun?Apakah Rasulillah SAW lalai ketika menugaskan Usamah
bin Zaid ra memimpin 10000 pasukan ke Tabuk, saat Usamah berusia 16
tahun?
Kedua hal itu juga bukan kebiasaan masyarakat Arab sebelum Islam.
Itu adalah output pendidikan Rasulullah saw, pendidikan generasi
aqilbaligh yang diwariskan dari generasi ke generasi sesudah wafatnya
Rasulullah saw selama hampir 1400 ratusan tahun kemudian.Usamah bukanlah
satu2 nya yang mendapatkan pendidikan generasi aqilbaligh oleh
Rasulullah saw, ada ratusan Sahabat-sahabat muda lainnya.
Apakah sejarah Islam lalai mencatat itu semua? Tidak. Sejarah
mencatat banyak pemuda Islam berusia belasan telah memiliki peran peran
dalam panggung peradaban di zamannya, telah memiliki peran peran sosial
yang manfaat dan menebar rahmat.
Imam Syafi’i rahimahullah, telah menjadi Mufti (pembuat fatwa) pada
usia 16 tahun, dengan karya2 yg banyak kita kenal. Alkhawarizmi telah
menjadi guru besar matematika penemu beragam cara berfikir terstruktur,
termasuk algoritma, pada usia 18 tahun. Muhammad alFatih telah menjadi
panglima dgn membuka kota Konstaninopel di usia 19 tahun, ibnu Batutah
memulai perjalanan ekspedisi ilmiahnya di usia 15 tahun, dsbnya
Bahkan sampai Abad 20 kita mengenal pejuang2 muda belasan tahun yg cemerlang dan tercerahkan di usia belasan tahun, spt Hasan al Bana, KH Ahmad Dahlan, M Natsir, Buya Hamka dstnya.
Bahkan sampai Abad 20 kita mengenal pejuang2 muda belasan tahun yg cemerlang dan tercerahkan di usia belasan tahun, spt Hasan al Bana, KH Ahmad Dahlan, M Natsir, Buya Hamka dstnya.
Apa makna itu semua?
Maknanya adalah bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang
menemani anak2 kita utk membangkitkan fitrah keimanannya, fitrah potensi
uniknya masing2, sesuai fitrah tahapan perkembangan usianya, agar mampu
menerima kewajiban syariah dan memiliki peran2 peradaban, tepat ketika
mereka berusia Baligh 14-15 tahun. Itulah amanah terbesar pendidikan
Islam.
Adakah lembaga pendidikan Islam memiliki strategic mindset seperti
itu pada hari ini?Pandidikan Islam bukanlah pendidikan agama Islam,
tetapi pendidikan yg melahirkan generasi AqilBaligh, generasi peradaban
yang menyinari dunia.
Lagipula, maaf, apa gunanya belajar agama islam jika tidak pernah
lahir generasi aqilbaligh yg mampu menerima kewajiban Syariah dan
memiliki peran2 peradaban dengan akhlak mulia yg menebar rahmat bagi
semesta, sebagaimana mereka ditakdirkan demikian.
Mari kita rancang dan jalankan pendidikan peradaban untuk anak2 kita – generasi peradaban -generasi aqilbaligh.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
___________________________________
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
___________________________________
Renungan Pendidikan #7
“Baity Jannati”, Rumahku Syurgaku, begitu Rasulullah saw
menginspirasi kita utk membangun imajinasi positif ttg rumah kita. Bukan
rumah dalam makna fisik namun rumah dalam makna bathin dan makna
langit.
Imaji positif ttg rumah kita, sungguh akan melahirkan kesan dan persepsi positif. Dan kesan dan persepsi positif akan memunculkan pensikapan positif terhadap kehidupan dan dunia kita. Sebaliknya, luka persepsi akan melahirkan pensikapan yg buruk.
Imaji positif ttg rumah kita, sungguh akan melahirkan kesan dan persepsi positif. Dan kesan dan persepsi positif akan memunculkan pensikapan positif terhadap kehidupan dan dunia kita. Sebaliknya, luka persepsi akan melahirkan pensikapan yg buruk.
Begitulah anak2 kita, dunia di mata mereka adalah bagaimana mereka
mempersepsikan rumah mereka, mempersepsikan ayah mereka, mempersepsikan
ibu mereka, dan semua yang ada di dalam rumah.
Anak2 yg mudah marah, kasar pd sesama adalah karena banyak kemarahan
dan kekasaran dalam rumah mereka, anak2 yg penuh cinta pd sesama adalah
anak2 yg rumahnya dipenuhi cinta. Anak2 yg mudah membuang sampah di
jalan, tidak memelihara diri dari najis adalah mereka yg rumahnya juga
demikian.
Rumah adalah taman dan gerbang peradaban yang mengantar anak2 kita
menuju peran peradabannya dengan semulia akhlak. Bila rumahnya baik maka
secara kolektif baiklah peradabannya kelak. Sebaik baik kalian di dunia
nyata adalah yang paling baik terhadap keluarga dan rumah tangganya.
Bila lahir banyak orang2 terbaik bagi rumah tangganya, maka akan
semakin baik dunia kita. Bila dunia kini suram, kumuh, kotor, palsu,
keindahan imitasi dan semu, barangkali begitupula potret kebanyakan
rumah tangga kita.
Bila dunia dan sosmed penuh fitnah dan kebencian, maka dipastikan
fitnah dan kebencian ada di rumah rumah mereka. Bila tidak ada asah,
asih dan asuh dalam kehidupan sosial di luar rumah, maka dipastikan
rumah2 kita sepi dari asah, asih dan asuh.
Neraka dunia dan neraka akhirat, sungguh dimulai dari neraka rumah
secara kolektif. Syurga dunia dan syurga akhirat, juga sungguh dimulai
dari syurga rumah secara kolektif.
Syurga adalah sebuah taman yg indah, begitulah Rumah yg dikiaskan
Rasulullah SAW dengan Syurgaku. Maka rumah kita semestinya adalah bagai
taman yang indah dan penuh cinta.
Lalu bayangkan sebuah taman adalah sebuah tempat beraneka warna bunga
yg tumbuh. Maka anak2 kita adalah bunga bunga indah peradaban yang
bentuk, warna keharuman, kelopak, tangkainya adalah unik. Dan tiada kata
yg bisa melukiskan imaji sebuah bunga kecuali cinta dan ketulusannya.
Maka jadilah petani2 bunga di taman, yg menyemai, memelihara fitrah
bunga2 itu dgn penuh cinta serta keikhlashan, rileks dan konsisten,
ithminan dan istiqomah, sesuai potensi2 fitrah yg ada. Petani taman
bunga bukanlah petani perkebunan yg menyeragamkan dan menggegas produksi
namun merusak tanah dan tanaman dalam jangka panjang.
Bila peradaban adalah taman besar kehidupan tempat berbagai bangsa,
berbagai budaya, berbagai kearifan2 dan agama, berbagai keanekaragaman
hayati, berbagai warna kulit dan bahasa dsnya yg ditakdirkan Allah hidup
di atasnya. Maka rumah kita sesungguhnya adalah adalah sebuah miniatur
peradaban.
Maka camkan baik baik bahwa peradaban dunia dimulai dari peradaban
rumah kita. Dan peradaban rumah kita dimulai dari pendidikan peradaban
anak2 kita. Dan peradaban yang kita buat hari ini adalah peradaban yg
kita siapkan untuk anak cucu kita kelak.
Jangan sampai doa2 dan kebaikan2 anak cucu kita terputus krn kita
mempersiapkan peradaban yg buruk untuk mereka, krn kita lalai
menjalankan pendidikan peradaban di rumah rumah kita.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
________________________
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
________________________
Renungan Pendidikan #8
Islam itu sederhana, namun karena kesederhanaannya maka menjadi
begitu rumit bagi banyak orang, begitu seorang ulama berkata. Islam
adalah agama fitrah, tentu mudah dan ringan bagi mereka yang fitrahnya
masih terjaga.
Kesederhanaan fitrah, tentu saja rumit bila berhadapan dengan obsesi
dan hawa nafsu, bila berurusan dgn orang2 yang tidak yakin dgn fitrah
atau ciptaan Allah.
Kesederhanaan fitrah juga njlimet bila dinasehatkan kpd mereka yg
tidak besyukur atas karunia yg Allah berikan, bila bertemu dengan mereka
yg tergesa2 dan merasa selalu kurang atas semua karunia dan ketentuan
Allah itu.
Renungkanlah, bukankah Allah swt telah menginstal semua fitrah2 baik dalam diri anak2 kita?
Renungkanlah, bukankah Allah swt telah menginstal semua fitrah2 baik dalam diri anak2 kita?
Lihatlah, sejak fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah
kepemimpinan, fitrah perkembangan sampai kpd fitrah2 yg ada di luar
dirinya, semua diberikan Allah swt untuk bekalnya menjalani misi atau
peran sbg khalifah, imaroh, imam dan beribadah.
Bukan hanya itu bahkan Allah swt telah mengilhamkan di dada para
orangtua hikmah hikmah mendidik setiap hari. Memberikan peristiwa2
setiap hari utk disikapi dgn bijak dan digali hikmah2nya bersama
anak2nya.
Tuhanku telah mendidikku maka menjadi baguslah akhlakku.
Tuhanku telah mendidikku maka menjadi baguslah akhlakku.
Mendidik anak dalam Islam pun sesungguhnya sederhana, kita hanya
perlu menemani agar fitrah2 yg baik yang ada pada anak2 kita bisa
dibangkitkan dan disadarkan secara alamiah, lewat imaji2 positif ttg
Allah, ttg dirinya, ttg alamnya, ttg masyarakatnya dstnya. Lalu
dilanjutkan dgn keteladanan dan pendampingan pd tahap berikutnya.
Sayangnya banyak orang yg ingin menjadi tuhan, merasa fitrah2 karunia
Allah itu kurang, merasa fitrah itu terlalu sederhana, merasa anak2
kita makhluk lemah, ibarat kertas kosong yg perlu ditulisi sebanyak2nya,
dibentuk semau2nya. Mereka membuat2 standar yg menyeragamkan
pendidikan.
Banyak yg merasa bhw tiap anak tdk memiliki fitrah perkembangan,
sehingga anak2 digegas dan dijejali sesuatu yg belum waktunya. Mereka
mempercayai tahap emas hanya pd usia balita, padahal tiap tahap
perkembangan usia adalah emas, sepanjang mengikuti sunnatullah. Bahkan
Nabi saw semakin cemerlang pd puncak usianya ketika berusia 40 tahun.
Banyak yg merasa bhw tiap anak tdk memiliki fitrah belajar, sehingga
anak dipaksa dan digegas belajar sehebat2nya utk sesuatu yg belum
waktunya.
Misalnya, berapa banyak anak bayi yg diajarkan bahasa asing sebelum
tuntas bahasa ibunya? Berapa banyak anak sekolah dasar yg dipacu
olimpiade ini dan itu, padahal belajar bukanlah utk menguasai
sebanyak2nya, namun utk semakin menjadi dirinya.
Banyak yg menyangka bhw tiap anak tdk punya bakat apapun, pdhl dengan
gamblang melihat bhw tiap anak punya sifat bawaan yg unik. Mereka
menggegas anak2nya sesuai cetakan yg dibuatnya dengan formula 10000 jam
latihan keras, maka jadilah sesuai cetakannya. Ibarat monyet sirkus, yg
dilatih untuk pertunjukkan semau pelatihnya.
Padahal bakat anak adalah fitrah, itulah panggilan hidupnya, peran
peradabannya, peran spesifiknya sbg khalifah di muka bumi yg kelak akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Banyak yg mengira, tiap anak tdk lahir bersama fitrah keimanannya.
Mereka mendoktrin keimanan bagai orang mengajarkan pengetahuan. Padahal
keimanan bukan pengetahuan, namun kesadaran yang tumbuh dari dalam,
pengetahuan hanya membantu meneranginya. Berapa banyak orang yg banyak
tahu agama namun tdk tumbuh kesadarannya dan tdk tercerahkan.
Mari Ayah Bunda, mari para pendidik peradaban, kita bangun pendidikan
berbasis fitrah, pendidikan yg membangkitkan kesadaran fitrah anak2
kita. Agar anak2 kita tumbuh sesuai fitrahnya, sesuai apa yang Allah
kehendaki.
Tiada yg berubah dari fitrah Allah, kecuali disimpangkan dan dikubur
dalam dalam. Bagi yg menyimpangkan fitrah itu maka akan mendapat bukan
yg lebih baik, namun justru keburukan.
Kita tidak membutuhkan kurikulum apapun kecuali peta jalan dan frame pendidikan berbasis fitrah anak.
Mari kita temani anak2 kita menjaga dan menumbuhkan fitrah mereka,
agar kita mampu mempertanggungjawabkan fitrah2 baik itu di hadapan Allah
kelak.
Kita bukanlah yang menciptakan mereka, tetapi Allahlah Yang
Menciptakan mereka. Berhentilah berobsesi dan berhentilah menjadi tuhan.
Bukankah fitrah itu adalah kesejatian? maka pendidikan sejati adalah pendidikan berbasis fitrah.
Bukankah fitrah itu adalah kesejatian? maka pendidikan sejati adalah pendidikan berbasis fitrah.
Salam Pendidikan Peradaban,
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasisfitrah
#gradasisaga
_______________________________
#pendidikanberbasispotensi dan akhlak
#pendidikanberbasisfitrah
#gradasisaga
_______________________________
Renungan Pendidikan #9
Setiap kita menginginkan anak-anak kita sukses di masa depan. Namun tidak setiap kita memahami makna sukses bagi anak-anak kita.
Sukses bagi kebanyakan kita biasanya adalah tercapainya cita2 anak2
kita. Lalu apa cita-cita anak2 kita? ya sukses. Jadi apa sebenarnya
makna sukses?
Sukses bagi kebanyakan kita diukur dengan materi yg berlimpah,
diimajinasikan dengan status sosial yg tinggi, dipersepsikan dengan
kedudukan duniawi yang bisa disandang, diidentikan dengan gelar gelar
akademis yg bisa diperoleh, banyaknya ilmu yg dikuasai termasuk ilmu
agama dstnya.
Boleh boleh saja memandang sukses seperti itu, namun bukan itu
hakekat sukses. Materi yg berlimpah akan percuma jika tdk bermanfaat,
status sosial yg tinggi, kedudukan duniawi, gelar2 akademis juga akan
sia sia jika tidak memberi manfaat.
Bahkan banyaknya ilmu dunia dan ilmu agama juga akan mubazir dan
membahayakan jika tidak bermanfaat.Bukankah inti kehadiran kita dan
anak2 kita di muka bumi adalah kemanfaatan?
Jadi ukuran sukses dalam pandangan misi penciptaan kita di muka bumi
adalah jelas yaitu kemanfaatan. Maka sebaik2 pendidikan anak2 kita
adalah pendidikan yang membawa manfaat di dunia dan di akhirat, bukan
satu diantaranya.
Tentu kita bertanya2, bukankah semua pendidikan dimaksudkan agar
anak2 kita bermanfaat?Benar, namun manfaat yang dimaksud adalah bukan
manfaat ilmu secara terbatas namun kepada kemanfaatan yg lebih luas,
yaitu bhw pendidikan mampu membawa anak2 kita kepada peran peradabannya
sesuai fitrah2 yg dimilikinya sehingga memiliki karya2 yg manfaat dan
menebar rahmat.
Kita sesungguhnya tidak perlu khawatir, tinggal mengikuti saja
fitrah2 yg ada. Karena Sunnatullahnya adalah sepanjang potensi fitrah2
itu dibangkitkan dan ditumbuhkan, maka dipastikan anak2 kita akan
memberi manfaat bagi dunia dan akhiratnya. Mengapa?
Karena fitrah2 itu dikaruniakan Allah kepada setiap manusia dalam
menjalani misi penciptaannya di muka bumi, maka niscaya semua fitrah
akan bermanfaat. Bukankah tiada satupun yang sia2 dari Ciptaan atau
Fitrah Allah?
Dan tiada yg berubah dari fitrah Allah itu sampai kita merubahnya,
menyimpangkannya atau menguburnya dalam dalam. Allah tdk akan merubah
nasib baik seseorang sampai ada yang merubah apa2 yg sdh diciptakan
dalam dirinya, yaitu potensi fitrah2 itu.
Ingatlah bahwa semakin kembali kepada fitrah (iedul fitrah) maka akan
semakin menuju kesuksesan. Semakin mendekat kepada kesejatian maka akan
semakin mendekati kebahagiaan dan kemanfaatan. Begitulah
sunnatullahnya.
Semakin menjauh dari fitrah maka akan semakin menuju ketidakmanfaatan, ketidakbahagiaan bahkan kesengsaraan. Na’udzubillah.
Mari kita jalani kehidupan sesuai fitrahnya, sesuai kesejatian dalam
semua hal, mari kita kembalikan kesejatian peran kita sebagai pendidik
fitrah terbaik sepanjang masa, mari kita kembalikan kesejatian
pendidikan dengan mendidik potensi2 fitrah yg Allah swt karuniakan.
Tentu saja fitrah2 yg Allah karuniakan, adalah potensi yg hrs
disadarkan dan dibangkitkan melalui pendidikan, jadi mari kita
kembalikan kesejatian (fitrah) diri kita dan anak2 kita, melalui
pendidikan berbasis fitrah lalu menyempurnakannya dengan akhlakul
karimah.
Agar fitrah2 baik kita sbg orangtua bertemu dan menguatkan fitrah2
baik anak2 kita, agar rumah2 kita kembali kpd kesejatiannya, agar secara
kolektif, dunia dan peradaban pun akan kembali kepada fitrahnya atau
kesejatiannya, dan pada keseluruhan akhirnya akan memberi manfaat
seluas2nya dan menebar rahmat seindah2nya.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#gradasisaga
_______________________________
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#gradasisaga
_______________________________
Renungan Pendidikan #10
Allah telah menetapkan segala sesuatu sesuai kadar dan ukurannya
masing-masing. Ibarat tabel periodik unsur unsur kimia, maka kita
menyaksikan bhw setiap unsur itu unik dan masing masing memilki
karakteristik yg berbeda.
Kita tdk pernah bisa memaksa air membeku pd suhu ruangan, dan menjadi
mendidih pd suhu 0 derajat celcius. Begitupula besi tidak akan meleleh
pada suhu dimana air mendidih dstnya. Kita bisa meneliti, menemukan
polanya, memanfaatkannya sesuai potensinya, namun tdk pernah bisa
mekayasa unsur2 itu utk melawan fitrah penciptaannya.
Begitu pula induk ayam, tidak akan pernah bisa menetaskan telurnya
sesuka hatinya walau beliau yang menelurkannya. Sang induk ayam hanya
bisa “menemani” dengan mengerami pd tingkat kehangatan dan masa eram
sesuai sunnatullahnya sebagaimana Allah ilhamkan kpd nya.
Begitupula ikan, sang induk ikan hanya bisa menempatkan telurnya
ditempat yg nyaman dan aman sebagaimana Allah ilhamkan kpdnya. Beberapa
jenis ikan menyimpan telurnya di karang, jenis lainnya di ganggang,
bahkan ada jenis ikan yg harus berjuang melawan arus sungai menuju hulu
sungai utk menempatkan telurnya di tempat yg nyaman untuk menetas.
Semuanya ada sunnatullahnya, semuanya telah diilhamkan Allah.
Begitupula para petani, hanya mampu mengamati pola pertumbuhan
tanamannya, lalu menempatkan benih tanaman pada media yg cocok, dan
jelas bukan mereka yg menumbuhkan benih itu. Benih itu akan tumbuh
sesuai sunnatullahnya, sesuai fitrah penciptaannya. Semakin sesuai dgn
fitrahnya, semakin subur dan bermanfaat tumbuhannya.
Di Jepang, sebuah pohon tomat bisa berbuah sampai 12000 butir, hanya
krn diketahui bhw fitrah akar tomat sangat cocok tumbuh di air bukan di
tanah. Sehingga tanpa perlu teknologi pertanian yg canggih, hanya perlu
menutrisi air dimana akar tomat itu diletakkan, maka pohon itu bisa
tumbuh subur dan berbuah banyak.
Nah, begitulah pendidikan anak2 kita. Kita hanya perlu rileks dan
konsisten, tenang dan istiqomah menemani dan meletakkan fitrah2 anak
kita di tempat yg sesuai dan sejati menurut tahap perkembangannya. Maka
tanpa memerlukan metode2 yg rumit, rekayasa dan manipulatif, insyaAllah,
potensi fitrah anak2 kita akan tumbuh sempurna dan membawanya kpd
peran2 peradaban yg memberi manfaat yg banyak bagi dunia dan akhiratnya.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________
Renungan Pendidikan #11
#potensifitrahbelajar
Tiap bayi kita yg lahir adalah pembelajar tangguh sejati. Lihatlah
tidak ada bayi yg memutuskan merangkak seumur hidupnya. Mereka
menuntaskan belajar “jalan” nya dgn gigih sampai bisa berjalan bahkan
berlari dan melompat. Tugas kita hanya memberi kesempatan, ruang yg aman
dan semangat.
Tiap bayi kita yg lahir adalah penjelajah (discoverer) yg sangat
serius dan kurius (curious). Lihatlah semua sudut di dalam rumah serta
perabotan bahkan yg berbahayapun tdk luput dari targetnya. Mereka suka
meraba, menyentuh, memegang apapun yg bisa dijangkaunya. Tugas kita
hanya memberi kesempatan, ruang yg aman dan semangat.
Tiap bayi kita yg lahir sangat kreatif dan kaya imajinasi. Lihatlah
bagaimana mereka mewarnai gambar langit dengan ungu, pohon2 dengan biru,
rumput dengan jingga dstnya.
Mereka berimajinasi keranjang pakaian sbg perahu, gayung kamar mandi
sbg kapal selam, sapu sebagai pedang dstnya. Tugas kita hanya memberi
kesempatan, ruang yg aman dan semangat.
Banyak orang menduga kemampuan manusia yg utama dalam belajar adalah
adaptasi, padahal semua binatang dan tumbuhan juga bisa beradaptasi. Ada
yg menyangka kemampuan manusia yg utama adalah kompetisi padahal hewan
dan jin pun berkompetisi.
Ketahuilah bahwa kemampuan manusia yg utama adalah mengelola,
mengklasifikasi, menginovasikan serta mewariskan pengetahuannya sbg
produk dari potensi fitrah belajarnya. Seribu ekor kera bisa dilatih
memancing ikan, namun tdk satupun dari mereka yg mampu menciptakan kail
dan mewariskannya pd anak2nya.
Sejak langit dan bumi diciptakan, lalu ditempatkan Adam di atasnya,
maka yg pertama Allah berikan adalah mengajarkan Adam, nama-nama semua
benda (taxonomy). Inillah potensi fitrah belajar yg Allah berikan
sebagai bekal penting dari makhluk yg ditakdirkan menjadi khalifah di
muka bumi.
Karena itu sesungguhnya setiap anak yang lahir telah memiliki Potensi
Fitrah Belajar. Para orangtua dan pendidik tidak perlu panik menggegas
kemampuan belajar anak2nya.
Anak2 hanya memerlukan sebuah ruang terbuka di alam dan hati orangtua
yg terbuka bagi imajinasi kreatifnya, bagi curiousity-nya, bagi
ketuntasan eksplorasi belajarnya, bagi penjelajahan dan petualangan
belajarnya, bagi kesempatannya utk semakin menjadi dirinya.
Tidak perlu tempat dan gedung belajar yg khusus, semua sudut di muka
bumi adalah taman belajar yang indah. Di pasar, di kebun, di stasiun
kereta, di sungai, di museum, di terminal, di atas pohon, di tukang
sayur keliling, di perahu, di hutan, di sawah, di bengkel dsbnya.
Alam dan budaya masyarakat Indonesia terlalu kaya untuk diabaikan dan
dimubazirkan. Bangkitkan fitrah belajarnya yg sdh ada agar terjaga dan
tumbuh subur melalui bumi Allah yg luas.
Tidak perlu waktu belajar yg khusus, semua waktu dan peristiwa yg
berseliweran setiap saat adalah momen belajar yg banyak hikmahnya.
Bangkitkan fitrah belajarnya atas kesadaran hikmah peristiwa yg ada.
Tidak perlu guru “khusus” yg formal, semua makhluk bisa menjadi guru,
semua praktisi kehidupan adalah guru, semua peristiwa dalam kehidupan
adalah guru dan penasehat, bahkan peristiwa musibah dan kematianpun bisa
menjadi guru.
Jika ada anak yg hanya belajar ketika akan ujian, ketika disuruh,
ketika ada tugas, ketika diancam, ketika panik krn tertekan, maka fitrah
belajarnya telah terkubur dalam dalam.
Jika ada anak yg belajarnya krn ingin juara, ingin hadiah, ingin
nilai, ingin dipuji, ingin mendapat ranking, ingin mendapat sertifikat,
ijasah dan gelar maka fitrah belajarnya telah tersimpangkan.
Mari percaya diri untuk mendidik sendiri anak2 kita sendiri, agar
kitalah yg memastikan potensi fitrah belajarnya terjaga, tumbuh
sempurna, indah merekah. Karena kitalah yg diberi amanah menjaga fitrah
anak2 kita dan akan ditanya di akhirat kelak.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________
Renungan Pendidikan #12
#potensifitrahbakat
Setiap anak kita adalah “very unique”, setiap mereka adalah “very limited special edition”, begitu menurut seorang ustadz.
Sesungguhnya setiap seseorang diciptakan hanya sekali dan
satu-satunya sepanjang zaman sejak zaman Nabi Adam as, tidak pernah ada
edisi ke dua atau versi kedua manusia yg diciptakan demikian di muka
bumi dan di akhirat kelak.
Lihatlah anak-anak kita, tidak seorangpun dari mereka memiliki ciri
khas dan sifat bawaan yang sama. Ingatlah selalu bahwa Allah swt terlalu
kaya untuk membuat manusia serupa dan sama.
Tidak satupun manusia yang sama persis di muka bumi, baik fisik
maupun sifat bawaannya. Lima milyar manusia dengan lima milyar potensi
bakat. Renungkanlah, apakah ini sebuah ketidaksengajaan? Apakah adanya
variasi yang tak berhingga demikian adalah sebuah kebetulan?
Semua keunikan itu pasti ada maksudnya, ada tujuannya, ada misi
penciptaannya, ada perannya, ada manfaatnya dalam peradaban manusia yang
membutuhkan begitu banyak peran beragam.
Peran khalifah di muka bukanlah peran tunggal, namun kolektifitas peran spesifik yang beragam. Peran spesifik ini telah terinstal sejak lahir berupa fitrah.
Peran khalifah di muka bukanlah peran tunggal, namun kolektifitas peran spesifik yang beragam. Peran spesifik ini telah terinstal sejak lahir berupa fitrah.
Inilah yang disebut potensi fitrah bakat, di samping potensi fitrah
lainnya. Potensi fitrah bakat adalah potensi keunikan berupa sifat
bawaan yang telah Allah instal pada setiap anak sejak pertama kali
diciptakan.
Potensi fitrah bakat atau potensi unik ini bahkan nampak sejak dalam kandungan, terlihat jelas semenjak balita dan akan semakin menguat dan konsisten saat usia 10 tahun.
Potensi fitrah bakat atau potensi unik ini bahkan nampak sejak dalam kandungan, terlihat jelas semenjak balita dan akan semakin menguat dan konsisten saat usia 10 tahun.
Ada dua hal yang harus dikenali dengan jelas dan utuh saat usia 10
tahun, yaitu mengenal Allah dan mengenal diri. Usia 10 adalah batas
akhir sholat yang sempurna (sebagai penanda tumbuhnya fitrah keimanan)
dan aktifitas bakat yang mulai konsisten dan fokus untuk dikembangkan
(sebagai penanda mulai ditajamkannya peran peradabannya kelak yang
berbasis fitrah bakat).
Jika seorang anak terlihat “suka menata” sejak usia 8 bulan, maka
akan terus demikian bahkan mungkin semakin menguat ketika berusia 88
tahun. Jika seorang anak terlihat “suka bersih bersih” sejak usia 8
bulan maka akan terus demikian bahkan semakin menguat ketika berusia 88
tahun.
Fitrah itu ibarat benih, tergantung kepada kita orangtua dan
pendidik, mau diletakkan di tempat yang menumbuh suburkan benih itu atau
mau menguburnya dalam dalam.
Fitrah bakat atau sifat bawaan ini pada akhirnya jika tumbuh sempurna
akan merupakan peran seseorang, panggilan hidup seseorang, misi
penciptaan seseorang, jalan sukses seseorang, misi spesifik tugas
khalifahnya di muka bumi.
Namun sayangnya walau banyak orangtua mengakui demikian, dalam
kenyataannya banyak orangtua dan pendidik yg tidak jujur dan bahkan
tidak peduli serta tidak konsisten untuk mengembangkan potensi keunikan
anak2nya ini.
Banyak lembaga yang menamakan dirinya sbg lembaga pendidikan, namun
abai terhadap potensi fitrah bakat ini. Umumnya bakat hanya diletakkan
dalam pandangan bakat dalam bidang seperti olahraga dll, lalu diberi
sedikit ruang bernama ekstra kurikuler. Sementara inti utama pendidikan
menurut mereka adalah skill dan knowledge (S.K).
Bayangkan ilustrasi ini, jika 1000 orang di beri pelatihan skill /
keterampilan tentang autocad, photoshop dll lalu diceramahi pengetahuan/
knowledge ttg desain selama 1000 jam, maka yang mampu mendesain dengan
bagus tetaplah hanya beberapa saja dari mereka yang memang benar benar
berbakat desain.
Skill dan Knowledge tidak harus dikuasai semuanya, orang hebat
bukanlah orang yg terampil dan mengetahui semua hal, orang hebat adalah
orang yang fokus pada keunikan bakatnya lalu dilengkapi dengan skill dan
knowledge pendukung yang relevan.
Abu Bakar ra mengatakan bahwa bukan aib bagi seseorang yang tidak mengetahui sesuatu yang tidak relevan dengan dirinya.
Paradigma bahwa Skill dan Knowledge harus utama adalah paradigma
revolusi industri yang masih dibawa2 sampai saat ini, dimana anak2 kita
digiring menjadi robot robot pekerja yang tidak perlu tahu keunikan
bakatnya apa.
Dunia persekolahan masih memuja paradigma ini, mereka beranggapan
semua anak sama dan wajib diajarkan semua pengetahuan. Yang paling hebat
adalah yang paling banyak menguasai semuanya, walau tidak relevan
terhadap bakatnya apalagi karakter personal dan lokalnya.
Lihatlah dunia kini mengalami krisis sumberdaya manusia, dimana 80%
lebih orang bekerja tidak enjoy krn bekerja tanpa bakat mereka. Bahkan
87% mahasiswa Indonesia menurut riset 2014, salah jurusan.
Ketidaksesuaian bakat dan peran akan menyebabkan para professional itu tidak produktif, bahkan menyebabkan depresi dan berbagai konflik yang tidak perlu di tempat kerja.
Ketidaksesuaian bakat dan peran akan menyebabkan para professional itu tidak produktif, bahkan menyebabkan depresi dan berbagai konflik yang tidak perlu di tempat kerja.
Mari kita kenali bakat anak anak kita dengan sebaik baiknya, sebagai
amanah Allah swt untuk menjaga dan menumbuhkan semua fitrah yang ada.
Biarkan anak anak kita jujur menjadi dirinya sesuai sifat bawaannya,
sebagaimana Allah menghendakinya demikian. Jangan pernah memaksa anak
kita menjalani peran yang bukan dirinya, yang tidak sejalan dengan
fitrah bakatnya, yang mengkhianati peran peradabannya.
Potensi Fitrah Bakat bukan hanya bakat pada bidang, yaitu terkait
fisik yang dapat diamati, seperti olahraga, menari, memasak, dll tetapi
juga bakat pada peran, yaitu yang terkait dengan peran spesifik seperti
perancang, penata, pemimpin, pemikir, dsbnya yang akan dijalani anak
anak kita sebagai peran khalifah di muka bumi.
Makin unik peran anak anak kita, makin eksis peran peradaban mereka.
Makin seragam dan generik peran mereka, makin makin mudah digantikan
oleh robot maupun orang lain.
Namun ingatlah bahwa bakat penting, namun bukan segalanya. Bakat
tanpa keimanan akan menyebabkan kerusakan, namun ingat pula, bahwa
keimanan tanpa peran bakat, maka akan sangat sedikit memberi manfaat
bagi kehidupan.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________________
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________________
Renungan Pendidikan #13
#potensifitrahkeimanan
Sesungguhnya sebelum kita dilahirkan ke muka bumi, setiap kita pernah
bertemu Allah dan bersaksi bahwa Allah benar adanya sebagai Robb kita.
“Alastu biRobbikum? Qoluu Balaa Syahidnaa”, begitu bunyi ayatnya di
dalam alQuran.
Walau kita lupa peristiwa persaksian itu namun, itu semua itu terekam
kuat bahkan terinstal di dalam fitrah keimanan setiap bayi yang lahir.
Karenanya tidak ada satu kaum atau suku pun di muka bumi yang tidak
memiliki Tuhan dan tempat beribadah. Karena secara fitrah sesungguhnya
setiap manusia menyadari eksistensi Zat Yang Maha Hebat,
Zat Yang menciptakan, mengatur, memberi rizqi dan menguasai segalanya. Manusia menyadari bahwa bersandar pada Zat Yang Maha Segalanya adalah keniscayaan.
Zat Yang menciptakan, mengatur, memberi rizqi dan menguasai segalanya. Manusia menyadari bahwa bersandar pada Zat Yang Maha Segalanya adalah keniscayaan.
Itulah yang menjelaskan mengapa setiap bayi yang lahir “menangis”,
karena pada galibnya, setiap bayi merindukan Zat Yang Mampu
Memeliharanya, Zat Yang Memberi Rizki kepadanya, Zat yang Maha Hebat
tempat menyandarkan semua kebutuhan dan masalahnya, yaitu Robb Semesta
Alam.
Inilah Potensi Fitrah Keimanan, meliputi fitrah kesucian, fitrah
kebenaran, fitrah kecintaan, fitrah kehormatan diri, fitrah malu
terhadap dosa dstnya. Inilah fitrah terpenting dan terutama dibanding
fitrah lainnya.
Fitrah keimanan inilah yang melingkupi semua fitrah lainnya seperti
fitrah bakat, fitrah belajar, fitrah kepemimpinan, fitrah perkembangan
sehingga disempurnakan menjadi mulia. Fitrah keimanan yang
menyempurnakan fitrah lainnya sehingga menjadi mulia inilah yang kita
kenal dengan akhlaqul karimah.
Bagaimana menjaga dan memelihara serta membangkitkan dan menumbuhkan fitrah keimanan ini?
Ayah Bunda, para pendidik peradaban, para penumbuh fitrah, ketahuilah bahwa sosok Robb bagi seorang bayi, adalah kedua orangtuanya.
Ayah Bunda, para pendidik peradaban, para penumbuh fitrah, ketahuilah bahwa sosok Robb bagi seorang bayi, adalah kedua orangtuanya.
Bagaimana Ayah Bundanya bersikap maka begitulah anak balita kita
membangun imaji baik atau buruk tentang Robbnya, kemudian dengan imaji
itu mereka mempersepsi Robb nya dan mengkonstruksi pensikapannya
terhadap kehidupannya kelak.
Allah swt sebagai Robb, meliputi Kholiqon (Allah sebagai Pencipta dan
Pemelihara), Roziqon (Allah sebagai Pemberi Rizqi) dan Malikan (Allah
sebagai Pemilik). Begitulah bayi kita memandang kita, orangtuanya
sebagai penciptanya, pemeliharanya, pemberi rizkinya, pemasok
kebutuhannya dan pemilik serta pelindungnya.
Rasulullah SAW, pernah dengan keras menegur seoramg ibu yang menarik
bayinya dengan keras karena pipis di pangkuan Rasulullah SAW. “Wahai
bunda, pipis ini kan bisa di bersihkan, namun perbuatan bunda menarik
bayi dengan kasar dan keras akan diingatnya sepanjang hayatnya”.
Imaji yang buruk anak kita tentang perbuatan orangtuanya, akan
menyebabkan luka persepsi. Dan setiap luka persepsi akan melahirkan
pensikapan yang buruk terhadap kehidupan anak kita kelak ketika mereka
dewasa.
Ada seorang psikolog yang mengatakan bahwa satu hari yang
membahagiakan seorang anak ketika mereka kecil, akan menyelamatkan satu
hari ketika mereka dewasa. Beberapa hari yang membahagiakan seorang anak
di masa kecil, akan menyelamatkan beberapa hari ketika mereka dewasa.
Seluruh hari yang membahagiakan seorang anak sepanjang masa anak
anaknya akan menyelamatkan seluruh hidupnya ketika dewasa kelak.
Inilah pentingnya membangun imaji positif anak2 terhadap orangtuanya,
terhadap alamnya, terhadap masyarakatnya, terhadap agamanya sejak usia
dini. Rasulullah SAW membiarkan cucunya bermain kuda kudaan ketika
beliau sedang sujud dalam sholatnya, hingga kedua cucunya puas. Ini
semata mata untuk mengkonstruksi imaji positifnya tentang ibadah.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW membolehkan Aisyah kecil memainkan
boneka, memiliki tirai bergambar dstnya. Ini semata-mata agar anak anak
memiliki imaji psoitif tentang kehidupannya.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW meminta imam sholat memendekkan
bacaannya apabila terdapat anak-anak di dalam shaf makmumnya. Ini
semata-mata agar anak memiliki imaji positif tentang sholat dan
Tuhannya.
Hati-hati dengan wajah kita, jangan pernah menunjukkan wajah suram di hadapan anak anak kita ketika memandang wajah anak-anak kita, belailah kepalanya dan bersholawatlah.
Hati-hati dengan wajah kita, jangan pernah menunjukkan wajah suram di hadapan anak anak kita ketika memandang wajah anak-anak kita, belailah kepalanya dan bersholawatlah.
Juga jangan pernah berwajah tidak bahagia ketika adzan berkumandang,
jangan pernah perlihatkan wajah suram ketika memberi shodaqoh kepada
fakir miskin dsbnya. Itu semua akan mematikan fitrah keimanan anak anak
kita.
Imaji positif ini juga bisa dibangkitkan dengan belajar di alam,
belajar bersama alam. Ajak anak2 balita kita ke alam, bangkitkan
imajinasi positifnya tentang semesta, katakan bahwa burung-burung juga
sholat dengan merentangkan sayapnya, bulan, planet dan bintang-bintang
di langit juga sholat dengan berjalan pada garis edarnya. Bagaimana
patuhnya alam pada Sang Pencipta.
Imaji positif ini juga bisa dibangkitkan dengan kisah kisah inspirasi
dan kepahlawanan, utamakan kisah alQuran sebelum kisah lainnya. Hindari
memulai dengan kisah2 yang berisi banyak peringatan tentang perbuatan
yang buruk, mulailah dengan kisah kisah yang membahagiakannya dan memicu
kegairahan tentang perbuatan yang baik.
Inilah pentingnya Bahasa Ibu yang utuh pada usia dini, agar anak anak
mampu mengekspresikan gagasannya, perasaannya dengan utuh, sebagai
represntasi imaji imaji positifnya.
Nah, bila anak2 kita telah memiliki imaji imaji yang baik dan positif
tentang Allah, tentang Sholat, tentang alQuran, tentang Alam Semesta
dsbnya sejak usia 0-6 tahun, maka ketika Sholat diperintahkan pada usia 7
tahun, akan seperti pucuk dicinta ulam tiba. Tidak ada perlawanan
apapun kecuali kebahagiaan menyambutnya. Hal yang sama berlaku untuk
syariah lainnya.
Jadi mulailah dengan membangkitkan kesadaran fitrah keimanannya sejak
dini bukan dimulai dengan memaksakan pelaksanaan syariahnya. Begitulah
tarbiyah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Usia 10 tahun adalah batas akhir untuk mengenal Allah secara utuh
lewat pembuktian Sholat yang konsisten. Karenanya anak yang sudah
berusia 10 tahun boleh dipukul bila masih belum konsisten sholatnya. Hal
ini sebaiknya tidak terjadi karena ada masa yang panjang selama 10
tahun untuk menyadarkan dan membangkitkan fitrah keimanannya.Rasulullah
SAW tidak pernah memukul anak sepanjang hidupnya.
Maka ada hal terpenting bagi kita semua para orangtua untuk mendidik
keimanan anak-anak kita yaitu mulailah dengan membersihkan jiwa kita dan
mengembalikan fitrah2 baik dalam diri kita, sehingga fitrah kita akan
bertemu dengan Fitrah Keimanan anak anak kita, yang sesungguhnya telah
siap untuk disemai, dibangkitkan dengan inspirasi, imaji dan
keteladanan.
Mari kita perbaiki jiwa dan keimanan kita sebelum membangkitkan
fitrah keimanan anak anak kita. Menjadi orangtua sejati dengan jiwa dan
hati yang bersih adalah keberkahan dan bekal menumbuhkan fitrah keimanan
anak anak kita.
Tanpa tumbuhnya Fitrah Keimanan anak kita maka fitrah lainnya akan menjadi tidak mulia.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
________________
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
________________
Renungan Pendidikan #14
#potensifitrahperkembangan
Segala yang ada di muka bumi memiliki sunnatullah tahapan
pertumbuhannya masing-masing yang berkorelasi dengan dimensi waktu dan
dimensi kehidupan.
Ada masa dimana benih atau biji ditanam dan disemai, ada masanya
benih bertunas, ada masanya tumbuh cabang dan daun, ada masanya
berbunga, ada masanya berbuah begitu seterusnya.
Untuk setiap masa itu ada cara dan tujuannya masing-masing. Dalam
sunnatullah perkembangan atau pertumbuhan ini maka tidak berlaku kaidah
“makin cepat makin baik”, juga jangan terlalu terlambat untuk tiap
tahapannya. Segala sesuatunya akan indah bila tumbuh pada saatnya.
Inilah potensi fitrah perkembangan, dimana semua upaya dan tujuan
menumbuhkan fitrah harus sesuai tahapan fitrah perkembangan. Karena
peran pendidikan adalah menumbuhkan fitrah anak anak kita maka
pendidikan fitrah keimanan, pendidikan fitrah belajar dan pendidikan
fitrah bakat sebaiknya mengikuti sunnatullah tahapan waktu.
Maka dalam pandangan keimanan pada sunnatullah tahapan ini, tidak ada
periode emas pada tahap tertentu sebagaimana kita umumnya mengenal
“golden age” pada usia 0-5 tahun. Karena sesungguhnya setiap tahap usia
adalah emas apabila tumbuh menurut cara dan tujuan yang sesuai pada
tahap itu.
Sistem persekolahan yang ada umumnya melihat tiap tahapan itu sebagai
upaya persiapan masuk perguruan tinggi atau mencetak professor dan
professional, dimulai sejak pendidikan anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) bukanlah sekolah anak usia dini
(SAUD) yang mempersiapkan anak untuk masuk sekolah dasar. Dengan
pandangan absurd ini, banyak persekolahan yang memberhalakan kecerdasan
akademis sebagai mata uang yang paling laris dijajakan.
Sesungguhnya bukan demikian! Pandangan ini mengingkari fitrah
perkembangan. Setiap yang mengingkari fitrah dipastikan merusak fitrah
itu sendiri.
Pendidikan usia dini sejatinya adalah pendidikan agar anak2 kita utuh
menjadi usia dini dalam semua aspek fitrahnya (fitrah keimanan, fitrah
belajar, fitrah bakat) tepat ketika mereka berada pada usia dini.
Begitupula pendidikan dasar dan menengah adalah pendidikan agar anak anak kita utuh dalam semua aspek fitrahnya pada tahapan tersebut.
Begitupula pendidikan dasar dan menengah adalah pendidikan agar anak anak kita utuh dalam semua aspek fitrahnya pada tahapan tersebut.
Sayangnya banyak orangtua yang “taken for granted” pada sistem
persekolahan yang mengkhianati fitrah perkembangan ini. Kita ikut-ikutan
merusak fitrah anak anak kita tanpa sadar karena menganganggap
persekolahan adalah pendidikan yang kebenarannya mutlak.
Di sisi lain, tidak pernah ada penelitian ilmiah satupun yang
membenarkan tahapan perkembangan manusia sebagaimana pengamatan psikolog
barat terhadap masyarakat mereka, yaitu ada tahap toddlers, kids,
teenagers, adult dstnya, dimana setiap tahap itu dibagi tiga yaitu tahap
awal, pertengahan dan akhir, lalu ada pubertas untuk tiap tahap
tersebut.
Tahapan tanpa ada landasan ilmiah ini kemudian masuk ke dalam sistem
persekolahan menjadi TK, SD, SMP, SMA dstnya, dimana masing masing punya
waktu 3 dan 6 tahun. Total lama bersekolah mencapai 20 tahun bahkan
lebih sebelum seseorang dianggap layak menjadi manusia dewasa dan
memiliki peran sosialnya.
Sesungguhnya Islam dan bahkan dunia sebelum era persekolahan modern
seperti hari ini, hanya mengakui dua tahap besar pertumbuhan manusia
yaitu sebelum Aqil Baligh ( < 15 tahun) dan sesudah Aqil Baligh
(=> 15 tahun). Islam dan peradaban dunia hanya mengenal dua tahap
yaitu tahap anak dan tahap pemuda, dan sampai abad 19 tidak pernah
mengenal istilah adolescene (remaja). #aqilbaligh
Lagi lagi para orangtua menerima begitu saja, menelan mentah-mentah
sistem yang dibangun tanpa landasan ilmiah dan melanggar fitrah ini,
sistem yang melambatkan peran para pemuda belasan tahun, sistem yang
melakukan pembocahan anak anak kita sampai usia 25 tahun, sistem yang
membuat kegalauan dan kegelisahan yang panjang akibat kesenjangan masa
anak dan masa pemuda yang terlalu jauh.
Maka mari kita kembalikan pendidikan anak anak kita- pendidikan
generasi peradaban – kepada kesejatiannya, kepada kesejatian fitrah
perkembangan dan fitrah pertumbuhan anak-anak kita, lalu meletakkan
fitrah2 lainnya di atas fitrah perkembangan itu secara tepat.
Ambilah sehelai kertas, rancanglah pendidikan fitrah keimanan, fitrah
belajar, fitrah bakat anak anak kita pada tahap usia 0-6 tahun, lalu
pada tahap usia 7-10 tahun, lalu pada tahap usia 11-14 tahun (pre aqil
baligh), lalu tahap usia di atas 15 tahun (post aqil baligh).
Pelajarilah Sirah Nabawiyah, amati dengan seksama bagaimana mendidik
masing-masing fitrah itu sesuai tahapannya. Bagaimana mendidik dan
membangkitkan fitrah keimanan atau aqidah di usia dini, juga di usia pre
aqil baligh awal, pre aqil baligh akhir dstnya. Pelajarilah sains
tentang perkembangan manusia yang sesuai dengan alQuran.
Lihat dan telitilah bagaimana fitrah Belajar seperti Bahasa ibu,
Belajar di Alam, Belajar di Masyarakat dstnya dididik pada tiap tahapan
itu. Juga bagaimana fitrah Bakat diamati, dikenali, dikembangkan pada
tiap tahap itu. Susunlah semuanya agar menjadi framework dan roadmap
pendidikan anak anak kita.
Setelah itu mari kita rancang dan jalankan pendidikan sesuai tahapan
fitrah perkembangan, mari kita didik generasi aqil baligh yang mampu
memikul syariah, generasi peradaban belajar yang inovatif dan generasi
yang memiliki peran peradaban ketika anak anak kita mencapai aqilbaligh
saat berusia belasan tahun.
Lagipula buat apa kita ajarkan syariah, kecerdasan, bakat dll pada
anak anak kita bila mereka tidak dipersiapkan menjadi generasi
aqilbaligh. Padahal hanya generasi aqilbaligh yang mampu memikul syariah
dan yang punya peran peradaban, generasi yang mampu menebar rahmat dan
manfaat ketika mencapai aqilbaligh.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________
Renungan Pendidikan #15
Pada galibnya anak anak kita kelak sepeninggal kita akan menghuni
suatu zaman yang mungkin “beyond imagine”, yang tidak pernah
terbayangkan oleh kita akan seperti apa.
Saat ini saja, zaman ini sudah membuat kita, kebanyakan para orangtua
tergagap gagap, tergopoh gopoh, terkejut kejut, terpana, terpesona dan
sebagian lagi tergila2.
Kebanyakan kita, tanpa sadar, sudah merasa tak sanggup mendidik anak
anak kita sendiri. Kita merasa zaman sudah terlalu edan atau kitanya
yang sudah tenggelam dalam dunia yang membuat edan, sehingga melalaikan
pendidikan anak anak kita.
Kita umumnya lebih suka menitipkan anak anak kita di lembaga, di
asrama dll lalu merasa telah mendidik dengan alasan klasik bahwa kita
tidak mampu mendidik sendiri.
Jika demikian, lalu apa yang kita tinggalkan untuk anak anak kita
agar mereka mampu menjalani kehidupan sesuai misi penciptaannya di zaman
yang akan datang itu kelak?
Meninggalkan harta warisan yang banyak? Meninggalkan ilmu yang
banyak? Meninggalkan perusahaan yang banyak? Meninggalkan ilmu agama
yang banyak?
Kita tentunya tidak ingin generasi sesudah kita, generasi yang mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan sholat.
Sesungguhnya sebaik baik bekal adalah taqwa, ya… taqwalah yang akan kita bekalkan kepada mereka, anak anak kita, generasi masa depan. Lalu apa makna taqwa?
Sesungguhnya sebaik baik bekal adalah taqwa, ya… taqwalah yang akan kita bekalkan kepada mereka, anak anak kita, generasi masa depan. Lalu apa makna taqwa?
Sesungguhnya taqwa bukan hanya meninggalkan laranganNya tetapi yang
terpenting adalah menjalankan perintahNya. Dosa melanggar perintahNya
jauh lebih besar daripada dosa meninggalkan laranganNya. Dosa Iblis yang
menolak perintah Allah untuk sujud pada Adam as, berakibat lebih hebat
dan fatal daripada dosa Adam yang melanggar laranganNya.
Kemampuan menjalankan perintahNya adalah kemampuan menjalankan peran
yang telah digariskanNya kepada setiap manusia yaitu untuk peran Ibadah
(beribadah), untuk menjadi Imaroh (pemakmur bumi), untuk menjadi Imama
(pemimpin para orang bertaqwa), dan menjadi Khalifah di muka bumi.
Tujuan peran ini secara personal adalah menebar rahmat dan pembawa berita gembira (solution maker) serta pembawa peringatan (warning notifier).
Tujuan peran ini secara personal adalah menebar rahmat dan pembawa berita gembira (solution maker) serta pembawa peringatan (warning notifier).
Secara komunal tujuan peran ini agar terbentuk komunitas/ummat yang
menjadi model tebaik untuk bisa diteladankan (khoiru ummah) dan menjadi
komunitas yang mampu melakukan peran integrator dan orkestrator (ummatan
wasathon) bagi kebaikan kebaikan yang ada pada semua ummat.
Membekali taqwa adalah membekali anak anak kita kemampuan mengambil
peran peradaban menurut alQuran seperti di atas, baik personal maupun
komunal.
Peran peradaban adalah hasil resultansi dari fitrah fitrah personal
anak kita (fitrah keimanan, fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah
perkembangan dstnya) dan fitrah komunal (fitrah alam, fitrah masyarakat,
fitrah lokalitas dan budaya, fitrah zaman) yang dibangkitkan dan
ditumbuhkan melalui sebuah katalis peradaban bernama pendidikan.
Maka kembalikanlah fitrah kesejatian kita para orangtua dan anak anak
kita. Kembalikanlah kesejatian keluarga, kesejatian komunitas,
kesejatian masyarakat, kesejatian alam, kesejatian belajar, kesejatian
mendidik dan pendidikan dstnya.
Mari kita mulai pendidikan berbasis kesejatian fitrah ini di rumah
rumah kita (home based education) dan juga di komunitas komunitas/jamaah
kita (community based education), karena peradaban terbaik dimulai dari
rumah dan dari komunitas yang melahirkan generasi dengan peran peran
terbaik.
Semoga kita, keluarga2 dan komunitas2 dapat bersama2 bergandeng
tangan, bershaf-shaf dengan rapi merajut peran peradaban terbaik untuk
generasi peradaban terbaik untuk memperindah dan memuliakan zaman. Mari
kita wujudkan melalui pendidikan berbasis fitrah menuju peran peradaban
sebagaimana Allah swt kehendaki.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
________________________
#pendidikanberbasispotensi
________________________
Renungan Pendidikan #16
Membangkitkan fitrah anak anak kita sebaiknya tidak parsial.
Keseluruhan fitrah personal mesti bertemu dengan keseluruhan fitrah
komunal.
Itu semua agar peran peradaban personal anak2 kita kelak akan lebih
bermanfaat dan membawa rahmat apabila bertemu dengan peran peradaban
komunalnya.
Ibarat tumbuhan, maka faktor personal atau internal seperti akar,
batang dan daun serta bunga dan buahnya mesti dibangkitkan sesuai tahap
perkembangannya dengan memperhatikan faktor eksternalnya.
Faktor komunal atau eksternal pada tumbuhan meliputi habitat, jenis
tanah, musim dll yang harus relevan dan sesuai dengan faktor internal.
Fitrah komunal anak anak kita setidaknya meliputi fitrah alam dan
lokalitas serta budaya, yaitu dimensi tempat dimana anak kita
ditakdirkan tinggal. Lalu, fitrah zaman dan realitas masyarakat, yaitu
dimensi waktu dimana anak kita ditakdirkan hidup.
Ingatlah bahwa Fitrah personal anak anak kita setidaknya meliputi
fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar, fitrah perkembangan.
Semua fitrah dalam Dimensi Manusia ini menjadi sentra pertumbuhan fitrah
yang akan membawa kepada peran peradaban.
Fitrah bakat tanpa fitrah keimanan akan melahirkan talented
professional yang berakhlak buruk, begitupula sebaliknya fitrah keimanan
tanpa fitrah bakat akan melahirkan orang2 beriman yg paham agama namun
sedikit bermanfaat.
Lihatlah mereka yang berbakat menjadi pemimpin tanpa akhlak maka akan
menjadi diktator. Begitupula mereka yang bertauhid tanpa bakat, akan
sangat sedikit memberi manfaat.
Fitrah belajar tanpa fitrah keimanan akan melahirkan para sciencetist
dan innovator yang berbuat kerusakan di muka bumi, begitupula
sebaliknya fitrah keimanan tanpa fitrah belajar akan melahirkan generasi
agamis namun mandul dan tidak kreatif.
Fitrah belajar tanpa fitrah bakat akan melahirkan pembelajar yang
tidak relevan dengan jatidirnya, begitupula sebaliknya, fitrah bakat
tanpa fitrah belajar akan melahirkan orang berbakat yang tidak
innovatif. Berapa banyak kita lihat orang yang bakatnya hanya berhenti
sebagai hobby semata.
Semua fitrah personal itu jika tidak ditumbuhkan sesuai fitrah
perkembangannya akan membuat generasi yang tidak matang dan tidak utuh
menjadi dirinya.
Fitrah belajar dan fitrah bakat yang tumbuh bersamaan dengan fitrah
keimanan melahirkan generasi yg inovatif, produktif dan berakhlak mulia.
Dimensi Manusia di atas kemudian akan menjadi penuh rahmat ketika
bertemu dengah fitrah komunal berupa Dimensi Alam dan Dimensi Zaman
serta Sistem Nilai.
Akhirnya semua fitrah personal harus relevan dengan fitrah komunal
agar mampu menjadi problem solver dan solution maker bagi realitas
sosial masyarakatnya (life skill dan sosial bisnis / mujahid), menjadi
konservator dan innovator bagi alamnya (ecopreneur / mujadid), menjadi
pahlawan bagi peradabannya (mutaqin).
Fitrah belajar yang ditumbuhkan secara kolektif melalui pendidikan
peradaban akan bertemu dengan fitrah alam dan lokalitas sehingga
melahirkan peradaban belajar yang inovatif dalam memakmurkan bumi.
Fitrah bakat yang ditumbuhkan secara komunitas melalui pendidikan
peradaban akan bertemu dengan fitrah zaman dan realitas ummat sehingga
melahirkan peran peradaban yang produktif dalam karya karya solutif bagi
problematika ummat.
Fitrah keimanan yang ditumbuhkan secara berjamaah melalui pendidikan
peradaban akan bertemu dengan fitrah sistem nilai ilahiah sehingga
melahirkan peradaban yang berakhlak yang mulia.
Mari kita sucikan, bangkitkan dan tumbuhkan semua fitrah anak2 kita
baik fitrah personal maupun fitrah komunal secara simultan melalui
pendidikan berbasis fitrah bersama keluarga dan komunitas. Agar tumbuhan
itu memiliki akar yang kokoh menghunjam ke tanah, batang yang besar
menjulang ke langit, daun daun yang rimbun subur menaungi siapapun di
bawahnya, serta bunga dan buah yang indah menebar rahmat dan manfaat.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________________
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________________
Renungan Pendidikan #17
“It takes a village to raise a child”, diperlukan orang sekampung untuk membesarkan anak, begitu pepatah bangsa Afrika.
Selama berabad abad, pendidikan dipahami dan dijalankan oleh keluarga dan komunitas secara berjama’ah.
Pendidikan adalah sebuah keniscayaan untuk membentuk komunitas yang lebih baik, dan komunitas itu kemudian memerlukan pendidikan untuk mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, mengangkat derajat posisi peran personal dan komunal yang lebih baik di muka bumi serta memuliakan kearifan dan akhlak bagi generasi selanjutnya.
Pendidikan adalah sebuah keniscayaan untuk membentuk komunitas yang lebih baik, dan komunitas itu kemudian memerlukan pendidikan untuk mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, mengangkat derajat posisi peran personal dan komunal yang lebih baik di muka bumi serta memuliakan kearifan dan akhlak bagi generasi selanjutnya.
Pendidikan bukan lahir karena ada komunitas atau karena ada
masyarakat, namun pendidikan justru yang melahirkan komunitas dan
peradaban. Banyak orang menyalahi sunnatullah keberadaan pendidikan,
mereka mendirikan pendidikan layaknya industri, melihat ceruk “market”
kebutuhan pendidikan.
Pendidikan adalah tanggungjawab rumah dan jamaah, karena rumah dan
jamaahlah yang paling tahu kebutuhan peran yg merdeka dan manfaat,
paling paham problematika dan dinamika realitas sosial, paling
mengamalkan tradisi dan budaya serta kearifan mereka.
Maka kembalikanlah rumah2 kita dan jamaah2 atau komunitas2 kita
sebagai sentra pendidikan peradaban. Kembalikanlah fungsi rumah dan
rumah ibadah (masjid, gereja dll) sebagai pusat belajar dan mendidik
anak anak kita.
Lihatlah bahwa kehebatan bakat, belajar dan akhlak pada hari ini
bukan lagi ada di kampus dan di sekolah, tetapi ada di para Maestro
Kehidupan, di tangan para orang Sholeh berakhlak mulia dan sebagian lagi
ada di dunia maya.
Mari rancang sungguh sungguh pendidikan berbasis rumah dan berbasis komunitas secara berjamaah.
Mari bangun jaringan pendidikan rumah dan komunitas di seluruh
Indonesia berbasis kepada fitrah personal (fitrah belajar, fitrah bakat,
fitrah keimanan, fitrah perkembangan) dan berbasis kepada fitrah
komunal (fitrah alam dan lokalitas, fitrah realitas sosial masyarakat
dan kehidupan, fitrah budaya dan kearifan serta agama).
Ingatlah bahwa negara bukanlah peradaban, negara hanyalah wadah peradaban.
Ingatlah bahwa negara bukanlah peradaban, negara hanyalah wadah peradaban.
Sesungguhnya peradaban adalah milik rumah dan jamaah, karena di dalam
rumah dan jamaah ada karya peradaban dan ada generasi peradaban masa
depan, yaitu anak2 kita.
Wahai para pendidik peradaban yang berada di rumah dan yang berada di
jamaah, mari bergandeng tangan dalam shaf shaf yang kokoh dan rapih,
untuk mewujudkan bangsa yang mandiri, peradaban yang menebar rahmat dan
manfaat melalui pendidikan berbasis fitrah personal dan fitrah komunal.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
______________________
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
______________________
Renungan Pendidikan #18
Firaun memang Raja Besar pada zamannya, kesuburan Mesir dengan aliran
Sungai Nil membuat negeri ini bagai adidaya, bahkan Firaun menyebut
dirinya “ana robbukumul a’laa” , sayalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi.
Pyramid dibangun memang sebagai Symbol keinginan menjadi Tuhan bahkan
melampauiNya.
Allah mengadzab Firaun bukan karena Firaun tidak melek teknologi,
tidak paham literasi, tidak piawai manajemen dan kepemimpinan dstnya,
namun Allah mengadzab firaun karena “…aladzina thogow fil bilad”, karena
Firaun membangun sistem yg melampaui kewenangan Tuhan, sistem yang
hendak menyeragamkan potensi fitrah fitrah. Tentu saja krn Firaun telah
merasa telah menjadi Tuhan.
Padahal, karena bukan Tuhan maka sudah pasti sistem yang dibangunnya
itu “..waaktsaru fihaalfasad”, banyak merusak fitrah manusia dan alam.
Hari ini barangkali tidak ada yang sedigdaya Firaun, andai
kedigdayaan Amerika setara Firaun, maka bisa dibayangkan begitu banyak
bekal yang dibutuhkan Musa. Lihatlah bagaimana Allah membekali Musa as,
sejak Harun as sebagai pendamping, sampai mukjizat yang sangat banyak.
Kegentaran Musa as sangat manusiawi mengingat kehebatan Firaun. Firaun
adalah lambang kekuatan sistem dalam ketaatan, kekuatan, keilmuan dan
teknologi.
Namun hari ini, kita yg intelek, cerdas, melek literasi, jago
komunikasi dll tergagap2 hanya utk mengatakan bahwa UN itu buruk, KurNas
seragam itu buruk, sistem pendidikan yang ada itu buruk karena telah
mencerabut banyak fitrah anak anak kita dstnya apalagi menghapusnya.
Padahal mengatakan kebenaran seperti itu hanya didepan sebuah sistem yg
tdk sehebat dan searogan Firaun.
Padahal kita punya banyak pilihan untuk mendidik anak2 kita sendiri
di rumah2 kita, di komunitas kita secara berjamaah atau berbasis
komunitas. Padahal hari ini kehebatan keilmuan itu bukan lagi ada di
sekolah2 dan di kampus2, tetapi di tangan para Maestro Kehidupan dan
dunia maya.
Mungkin Firaun Modern telah berhasil menyembelih mental LAKI-LAKI
pada bangsa ini agar tidak lahir MUSA MUSA yang berani mengambil alih
perbudakan belajar menjadi kemerdekaan belajar, perbudakan fitrah
menjadi kemerdekaan fitrah.
Mungkin IBU IBU MUSA zaman ini, sudah tidak mau memberikan ASI.
Pendidikan fitrahnya pada MUSA MUSA kecil yang masuk ke dalam sistem
Firaunisme modern. Mereka lebih suka menyerahkan begitu saja anak
anaknya untuk dipelihara firaun modern.
Mungkin mental budak kita sudah lebih buruk daripada mental budak
bangsa Israil yang juga dijajah Firaun lebih dari 350 tahun sehingga
sama sekali tidak berkenan hijrah.
Semoga Allah swt, melahirkan kembali Musa Musa peradaban dari rumah
rumah kita dan di jamaah kita, melalui Ibu Ibu Musa yang mendidik
anak2nya dari sumber kemurnian fitrah nya, semurni air susu para
Bundanya.
Salam Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
_________________________
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
_________________________
Renungan Pendidikan #19
Pernahkah kita mempertanyakan mengapa anak2 kita harus menjalani PG
atau TK selama 3 tahun?Mengapa anak2 kita harus menjalani SD selama 6
tahun?
Lalu mengapa anak2 kita menjalani SMP selama 3 tahun, lalu menjalani
SMA selama 3 tahun?Adakah landasan ilmiah dan risetnya? Adakah landasan
syariahnya? Pernahkah menggalinya?
Mengapa kita pasrah bongkokan menerimanya? Mengapa?
Mengapa kita pasrah bongkokan menerimanya? Mengapa?
Memang ada percepatan atau akselerasi sehingga bisa lebih cepat, tapi pertanyaannya tetap belum terjawab.
Mengapa ada penjenjangan demikian? Lalu mengapa kita tidak mempertanyakan?
Mengapa ada penjenjangan demikian? Lalu mengapa kita tidak mempertanyakan?
Seorang psikolog Muslim, Malik Badri, tahun 1985 pernah ke Indonesia,
beliau penulis buku “dilemma psikolog muslim”, mengatakan bahwa
penjenjangan itu tidak pernah bisa dibenarkan secara ilmiah. Ini hanya
pengamatan psikolog barat terhadap masyarakat mereka yang kemudian masuk
dalam sistem persekolahan hampir di seluruh dunia.
Lalu apa makna penjenjangan ini? Lalu mengapa kita menelan mentah mentah begitu saja, menerima sebagai sebuah keimanan?
Lupakah kita bahwa anak2 kita bagai benih tumbuhan yang memerlukan tahapan perkembangan yang benar?
Lalu perhatikan setelah masa “siswa kecil” ada masa menjadi “mahasiswa” (siswa besar) selama 4 atau 5 tahun. Apa maknanya?
Lalu perhatikan setelah masa “siswa kecil” ada masa menjadi “mahasiswa” (siswa besar) selama 4 atau 5 tahun. Apa maknanya?
Para “pemuda kuliahan” tetap dianggap sebagai anak anak walau bernama mahasiswa atau “siswa besar”?
Padahal menilik usianya, para “siswa besar” ini sudah berusia di atas 17 tahun, sudah bukan lagi berada pada fase pendidikan,, tetapi fase berkarya dan berperan.
Padahal menilik usianya, para “siswa besar” ini sudah berusia di atas 17 tahun, sudah bukan lagi berada pada fase pendidikan,, tetapi fase berkarya dan berperan.
Belajar memang sepanjang hayat, namun bagi para pemuda ini, fase
belajar untuk menjadi diri seharusnya sudah selesai, mereka seharusnya
berada pada fase belajar untuk melahirkan peran dan karya. Kenyataannya
hampir 90% mahasiswa tidak mengenal dirinya dengan baik apalagi menjadi
dewasa (aqil).
Padahal secara syariah mereka sudah jauh melampaui usia aqilbaligh,
dimana seluruh kewajiban syariah dan sosial sudah jatuh di pundak mereka
sejak berusia setidaknya pada usia 14 tahun ketika tibanya kedewasaan
biologis.
Lalu kembali pertanyaannya adalah apa makna dan maksud penjenjangan TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi ini ?
Sesungguhnya penjenjangan ini semata mata bukan untuk kepentingan
tumbuh kembang anak anak kita secara utuh, namun untuk kepentingan
kapitalisme dan sosialisme yang merekayasa kelas kelas sosial tenaga
kerja atau buruh.
Penjenjangan ini mencerabut generasi dari akar masyarkatnya, akar
kearifan dan pengetahuannya, bahkan akar budaya dan agamanya. Umumnya
anak anak kita tidak punya idea memandirikan dirinya dan masyarakatnya
atas potensi2 yang ada.
Generasi kita dan anak2 kita, telah disegregasi dalam kelas2 usia
mirip peternakan hewan. Masyarakat kita terkotak kotak, terkungkung
dalam kotak yang tidak sesuai fitrah perkembangan manusia.
Pemuda tetap dianggap anak anak bahkan sampai selesai kuliah. Anak
anak dikelompokkan dalam kelas kelas usia yang tidak boleh beranjak
kecuali jika lulus naik kelas secara akademis.
Lalu dengan bangga kita menyebut sekolah sebagai tempat sosialisasi,
benarkah?Padahal anak2 kita disekat sekat dalam ruang kelas dengan anak2
seumurnya selama seharian, apakah itu sosialisasi? Siapa gegabah yang
menentukan demikian, untuk kepentingan siapa?
Selama berabad abad dunia hanya mengenal kelas anak anak dan kelas
pemuda. Kelas remaja (adolescene) tidak pernah dikenal sampai abad ke
19. Ini kelas yang membocahkan para pemuda selama mungkin, sampai
mendekati usia 25an bahkan akan terus lebih.
Sesungguhnya sepanjang sejarah kelompok yang ada hanya kelompok tahap
dididik dan tahap berkarya. Kelompok tahap anak anak dan kelompok tahap
pemuda aqilbaligh. Tahap pedagogis dan andragogis.
Walau demikian, dalam keseharian sebuah komunitas atau jamaah atau
desa2 yg masih murni, tetap saja sosialisasi seperti gotong-royong
terjadi antar semua usia, tidak dibedakan tua dan muda.Mari
kita kritis atas tahap perkembangan ini yang merupakan fitrah manusia.
Jangan biarkan anak anak kita direkayasa sebuah sistem yang menternakkan
generasi.
Mari kita bangun generasi baru, generasi peradaban yang tahapan tahapan perkembangannya sesuai dengan fitrah dan sunnatullahnya.
Tidak tumbuhnya fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar secara
utuh pada tahap yang benar akan menyimpangkan peran peradaban anak anak
kita. Sesungguhnya Insan Kamil adalah resultansi fitrah2 itu yang tumbuh
sempurna sesuai tahapan yang benar.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
_________________
Renungan Pendidikan #20
“Bukan Aib!”, kata Abu Bakar RA, “…bukan aib bila seseorang tidak mengetahui sesuatu yang tidak relevan dengan dirinya”.
Jika anak kita hanya suka pelajaran matematika, namun tidak suka
pelajaran bahasa, atau sebaliknya, apakah masalah buat kita? Jika anak
kita tidak suka semua pelajaran, sukanya hanya “menggambar”,
“mengkhayal”, “merenung”, “mengobrol”, “memasak”, “beres beres rumah”,
“mengumpulkan teman teman” dll , apakah masalah buat kita?
Bagi negara anak anak kita seperti di atas akan dianggap bermasalah besar, bahkan dianggap produk gagal, tidak punya masa depan.
Bagi sekolah yang memberhalakan nilai akademis, hal seperti di atas
akan dinilai “sangat bermasalah”, anak anak kita terancam dikeluarkan,
dicap merusak prestasi, tidak layak disekolahkan dstnya.
Bagi orangtua yang obsesif, hal ini dianggap mimpi buruk, masa depan suram, mungkin dianggap musibah bagi keturunan dstnya.
Gejala bahwa seorang anak harus hebat semuanya, harus tahu semuanya melanda dunia sampai hari ini. Kompetisi adalah harga mati.
Sebuah penelitian, memberi pertanyaan, “Bila anak kita pulang,
membawa rapor dengan nilai 7,9,5 dan 3, maka yang mana menjadi fokus
kita?”
Penelitian itu membuktikan 78% orangtua di Eropa fokus pada nilai 5
dan nilai 3. Di Amerika 64% orangtua hanya melihat pada nilai 5 dan
nilai 3.
Di Indonesia belum dilakukan penelitian, namun tampaknya tidak jauh
berbeda, mungkin lebih panik.Begitulah dunia paska era revolusi industri
dan perang dunia, anak anak kita dianggap tentara yang harus mengusai
semua hal secara seragam. Anak anak kita dianggap komoditas produk yang
harus memenuhi standar layak jual.
Di ujung setiap rantai produksi ada QC (quality control) yang
melakukan “reject” dan “accept” bagi produk, bernama Ujian Nasional.
Kita lebih suka melihat sisi negatif seseorang daripada sisi positif
seseorang. Kita lebih suka mengecam kelemahan daripada menghargai
kelebihan seseorang.
Cara pandang berbasis kekurangan atau “deficit/weakness based” ini
melanda hampir semua orang, konon mencapai 80% warga dunia. Tak pelak
lagi juga melanda kaum Muslimin.
Padahal dalam pandangan orang beriman, sejatinya segala sesuatu telah
diciptakan Allah sesuai jalan suksesnya masing masing (syaqila). Orang
beriman adalah mereka yang meyakini bahwa setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, telah tertanam potensi fitrahnya masing masing. Orang
beriman sejatinya adalah orang yang paling menghargai potensi kekuatan
atau keunikan anak2nya.
Ketahuilah bahwa berbagai penyimpangan perilaku anak dan remaja,
seperti tawuran, bully, penyimpangan seksual dll adalah karena obsesi
bahwa semua anak harus bisa semuanya, harus menjadi paling unggul
melampaui siapapun, harus paling cerdas mengalahkan semuanya dstnya.
Anak anak kita jarang dihargai potensi keunikannya, dihargai
kelebihannya. Mereka terus dikecam kelemahannya, mereka dipaksa menjadi
orang lain yang dianggap lebih sukses, lebih pandai, lebih cerdas
dstnya. Kita mengaku beriman namun menjadi manusia yang paling ingkar
terhadap adanya potensi keunikan fitrah anak anak kita.
Anak2 dan pemuda2 yang dihargai potensi keunikan fitrah bakatnya,
lalu ditemani untuk mengembangkannya akan tumbuh menjadi pemuda yang
eksis jatidirinya, yang “kutahu yang kumau”, yang jauh dari galau dan
perasaan terbuang dan hina. Mereka disibukkan menguatkan potensi unik
produktifnya secara positif.
Mari kita perbaiki keimanan dan cara pandang kita tentang potensi
keunikan anak anak kita, sehingga kita mau dan mampu mensyukuri,
menghargai dan menumbuhkan karunia Allah ini lalu memuliakannya dengan
akhlakul karimah.
Berhentilah mengecam, berhentilah obsesif, berhentilah
membanding2kan, berhentilah menambal keterbatasan anak anak kita,
fokuslah pada potensi keunikan dan kekuatannya yang merupakan panggilan
hidupnya, misi spesifik penciptaannya di dunia, peran spesifiknya
sebagai khalifah di muka bumi. Misi yang akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________
Renungan Pendidikan #21
Andai guru2 dari abad ke 19, dilahirkan kembali di abad 21, maka
mereka akan terkaget kaget melihat betapa canggihnya perkembangan
teknologi dan gedung menjulang di abad 21.
Namun mereka akan biasa biasa saja, ketika masuk ke ruang2 kelas sekolah. Mengapa?
Karena apa yang ada di ruang kelas sekolah hari ini tidak pernah
berubah sejak 100 sampai 200 tahun terakhir, sejak era revolusi industri
dimulai.
Pemandangan yang selalu sama sejak 200 tahun yang lalu. Guru yang
berdiri di depan kelas, murid murid berseragam duduk di barisan bangku
bangku dan meja meja tersusun rapi, wajah wajah yang menghadap ke depan,
papan tulis yang setia menghadap siswa dstnya. Deringan bel setiap usai
pelajaran pun selalu ada sejak dua ratus tahun lalu.
Pemandangannya selalu sama, guru guru yang nampak serba tahu, dan
terlalu banyak “menggurui” dan murid murid yang banyak “mendengar” dan
menjawab pertanyaan.
Tentu yang terpandai adalah yang jawabannya paling sesuai dengan
selera guru, yaitu yang paling banyak menjawab pertanyaan dengan “cerdas
cermat” dan “cepat tepat” sesuai buku, kisi kisi dan tentu saja selera
gurunya.
Maka jangan heran, bila anak anak Indonesia dikenal paling jago
menjawab namun paling sulit bertanya. Padahal pertanda matinya fitrah
belajar adalah diawali dengan hilangnya semangat bertanya karena matinya
nalar (nadzor).
Pemandangan lainnya adalah guru guru yang terlalu banyak diam namun
rajin memberi catatan dan pekerjaan rumah. Bagi mereka mendidik adalah
menghabiskan bahan ajar. Sebuah riset menyatakan bahwa ada begitu banyak
“Silent Class” di sekolah sekolah Indonesia.
Bagi kebanyakan anak anak kita, hal yang paling berkesan ketika bersekolah hanya dua hal, yaitu bel istirahat dan bel pulang.
Selama seratus tahun lebih ada stress yang sama ketika ujian, ada
tekanan kompetisi yang sama, ada pemilahan si bodoh dan si pandai, si
bengal dan si penurut, si juara dan si pecundang, si kaya dan si miskin
dstnya.
Selama lebih dari sepuluh dasawarsa, masalahnya selalu sama. Murid
murid yang patuh dan penurut serta jaim di hadapan para guru namun ada
ribuan penyimpangan perilaku di luar pagar sekolah.
Sekolah bagai etalase toko atau restoran atau hotel mewah yang nampak
indah, mahal, megah menggiurkan bahkan terlihat relijius, namun di
balik itu ada begitu banyak pengkhianatan dan kecurangan dari siswa
siswanya maupun guru gurunya, setidaknya membiarkan keduanya terjadi.
Tak perlu sulit membuktikannya, temukan ratusan mungkin ribuan film
di youtube tentang bully, kekerasan, tawuran, pelecehan dan penyimpangan
seksual, pembunuhan dll dari anak anak dan pemuda generasi kita. Mereka
umumnya anak anak yang dikenal “baik baik” saja di sekolah.
Selama lebih dari seratus tahun, fitrah bakat anak anak kita
dihilangkan, hanya yang berbakat akademislah yang mendapat tempat
penghargaan, ada sedikit bakat lainnya diletakkan sebagai ekskul
selebihnya dibiarkan hilang dan terkubur.
Cukup 200 tahun ini ummat manusia disengsarakan sistem pendidikan
yang abai terhadap fitrah personal, berupa fitrah keimanan, fitrah
bakat, fitrah belajar dan fitrah perkembangan yang berakibat rusaknya
mentalitas, moralitas dan rendahnya produktifitas serta meningkatnya
depresi.
Cukup 200 tahun ini ummat manusia disengsarakan sistem pendidikan
yang abai terhadap fitrah komunal, berupa fitrah alam, fitrah keunggulan
lokal, fitrah realitas sosial masyarakat dan kehidupan, fitrah
kebudayaan dan kearifan serta sistem hidup atau agama. Ini berakibat
rusaknya alam, ketergantungan masyarakat, keterjajahan ekonomi,
urbanisasi besar besaran dstnya.
Mari kita kembalikan pendidikan sejati berbasis fitrah, di mulai dari
rumah2 kita, dari komunitas2 kita, secara bersama dan berjamaah.
Sesungguhnya pendidikan sejati akan melahirkan peradaban sejati yang
berakhlak mulia untuk anak dan keturunan kita, karena itulah yang
menjawab mengapa kita hadir di muka bumi, mengapa kita menikah dan
mengapa kita memiliki keturunan serta mengapa kita mendidik.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisipotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasisipotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
___________________________
Renungan Pendidikan #22
Sadarkah kita, bahwa anak anak kita, generasi kita, digiring memasuki
sistem pendidikan berorientasi persaingan atau kompetisi yang
menyengsarakan dan membahyakan kebudayaan dan akhlak manusia?
Kompetisi terlihat sepintas sebagai sebuah hal yang biasa, layaknya
perlombaan olahraga atau sebagai kemestian bisnis, dsbnya. Ketika
diingatkan bahaya kompetisi maka selalu pertanyaannya adalah, “bukankah
orang perlu berkompetisi agar menjadi unggul atau terlihat unggul?”.
Ingatlah bahwa menjadi unggul bukanlah secara tunggal mengungguli
semua orang bak anak Tuhan ala Yahudi atau ras termulia ala nazisme,
namun menjadi unggul adalah menjadi paling bermanfaat dan paling menebar
rahmat atas semua manusia, ummat dan bangsa dengan fokus tumbuh atas
keunikannya sendiri lalu bekerjasama dengan beragam keunggulan unik yang
lainnya sebagai karunia Allah swt.
Siapapun tahu, bahwa sebuah sistem pendidikan adalah alat pembentuk
karakter personal, lalu secara kolektif karakter2 personal ini akan
mengkonstruksi budaya. Budaya yang dilahirkannya, bisa budaya yang baik
maupun budaya yang buruk, yang disebut kebudayaan dan akhirnya
melahirkan peradaban.
Tanpa sadar, selama beberapa generasi, sistem persekolahan telah
menanamkan sebuah budaya yang penuh dengki, dendam, jumawa dan
rivalitas. Doktrinnya adalah siapa yang paling hebat adalah yang paling
mampu mengungguli siapapun, yang paling bisa berdiri tegak di atas
siapapun.
Dan yang paling mengerikan adalah untuk mencapai itu semua, maka
semua cara dihalalkan. Sudah mafhum, sejak PAUD, anak anak belum cukup
umur dimanipulasi agar bisa calistung sbg syarat masuk SD. Sudah rahasia
umum di kalangan pelajar smp, sma untuk bahu membahu membeli bocoran
soal, sementara guru guru bergotong royong memberikan jawaban soal, para
ortu bersikap seolah tidak tahu menahu dstnya. Sementara di kalangan
mahasiswa untuk menjiplak skripsi dan tesis sudah dianggap kelaziman.
Tentu saja itu semua demi Tuhan baru bernama kompetisi dan keunggulan semu, layaknya Lata dan Uza.
Tuhan baru untuk memperebutkan status sosial semu dengan sedikit remah remah dunia. Sungguh kepalsuan demi kepalsuan yang melahirkan budaya kepalsuan, kebencian, rivalitas, kedengkian dsbnya yang mengorbankan semua kesejatian dan misi penciptaan manusia.
Tuhan baru untuk memperebutkan status sosial semu dengan sedikit remah remah dunia. Sungguh kepalsuan demi kepalsuan yang melahirkan budaya kepalsuan, kebencian, rivalitas, kedengkian dsbnya yang mengorbankan semua kesejatian dan misi penciptaan manusia.
Mari kita ingat ingat, sejak bersekolah, umumnya kita terpola untuk
tidak pernah benar benar ikhlash melihat anak lain dipanggil maju ke
depan ketika upacara, untuk menerima penghargaan atau hadiah sebagai
juara umum, juara satu, dua dan tiga.
Begitu juga sejak kita menikah dan memiliki anak, umumnya kita juga
tidak bisa ridha ketika melihat anak orang lain yang juara melebihi anak
kita. Kita selalu ingin melihat anak kita menyaingi teman2nya dalam
segala hal. Kita lupa bersyukur dan beriman atas fitrah keunikan
kebaikan setiap anak.
Selalu terbersit, bahwa saya atau anak saya juga bisa. Obsesi yang
menuduh kecurangan pihak lain atau pembenaran atas “ketidakberhasilan”
kita. Kita bertepuk tangan, tapi hati kita meradang, senyum kecut
mengembang. Ketidakberhasilan dimaknakan sebagai kegagalan berkompetisi
yang sangat memalukan untuk menjadi pemenang.
Lihatlah banyak orangtua dan guru, masyarakat, para pengambil
keputusan dll selama beberapa generasi itu telah memuja dan menyembah
keunggulan tunggal lewat kompetisi, menggantikan Tuhan. Padahal tiap
manusia punya martabat atas tugas, peran atas keunikannya masing2 untuk
saling mengenal dan bekerjasama.
Itu semua karena kompetisi sudah menjadi budaya, kompetisi dalam
benak banyak orang adalah sebuah keniscayaan bahkan sebuah kewajiban
layaknya fardu ‘ain.
Lalu semakin hari semakin banyak lahir sekolah sekolah yg diberi
“branding” keunggulan, yang hanya diperuntukan untuk para juara. Sekolah
bagai sebuah arena pacuan dimana anak anak digegas berkompetisi.
Padahal semakin hari semakin banyak orang salah jurusan dalam
belajar, salah karir dalam bekerja, salah bisnis ketika pensiun. Banyak
orang unggul bergerak tanpa tujuan manfaat kecuali mengungguli orang
lain semata.
Para pemenang di sekolah dan di masyarakat adalah mereka yang
memperoleh score tertinggi dalam akademik, begitu membanggakan dan
dipuji siapapun. Lalu para pecundang terlihat begitu menjijikan,
memalukan dan bahkan layak dipermalukan, diolok olok seumur hidupnya
dengan sebutan si bodoh, si nakal, si dungu dstnya.
Si bodoh atau si nakal yang tidak suka pelajaran di sekolah ini terus
dikenang dalam pertemuan dan reuni sekolah sampai akhir hayatnya, “oh
si bodoh itu ya…, oh si rangking terakhir, …oh dia yang berkali kali
tidak naik kelas itu ya,… oh dia yang gagal di ujian,… dstnya. Biasanya
mereka yang dicap demikian akan terpicu rasa dendam sosial dan
pembuktian eksistensi yang menyimpang.
Status ranking sekolah ini kemudian berkembang menjadi status sosial.
Segregasi sosial berupa bodoh dan pandai kemudian bergeser jadi miskin
dan kaya, pecundang dan pemenang, dengan menggunakan cara apapun. Konsep
diri yang rusak, membawa penyakit sosial dan terbawa sampai kubur
Jelas siapapun menolak kekejaman sosial macam itu bagi yang dianggap
pecundang, maka lahir kesimpulan atau antitesis dari kekejaman sosial
ini berupa filosofi hidup, “jangan pernah dikalahkan oleh siapapun,
kekalahan adalah kehinaan tak terampunkan, maka selalulah di atas,
apapun caranya, at all cost, at all risk”
Sepanjang sejarah kapitalisme ditegakkan, kompetisi adalah
jantungnya. Kompetisi sesungguhnya hanya ilusi kemajuan, pacuan yang
tidak menuju kemana mana kecuali ekses kerusakan kemanusiaan dan alam.
Kompetisi mendorong individu, lembaga atau perusahaan selalu mengintip
permainan lawan, meniru niru, membajak, mencurangi dstnya.
Tidak ada kreatifitas positif dan kemaslahatan ummat dihasilkan lewat
kompetisi, kecuali obsesi mengalahkan siapapun. Setiap tindakan
dikendalikan oleh permainan lawan dan meniru niru pesaing.
Di ranah bisnis, kompetisi akan terus terus memangkas biaya produksi,
mengeksploitasi sumberdaya, mencari pengganti bahan baku semurah
mungkin walau berbahaya, menekan biaya dan gaji pekerja, menghadirkan
produk dgn harga serendah mungkin dengan kualitas pas pasan. Jika terus
dilakukan maka sampai sebuah titik, akan membunuh semuanya.
Kompetisi tidak sesederhana yang dibayangkan. Perhatikanlah, bila ini
sudah menjadi budaya yang dilakukan secara masif, sadar maupun tidak
maka akhirnya akan menghancurkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.
Manusia dan alam “boleh dirusak” atas nama kompetisi. Banyak orang
baik “terbunuh” atas nama kompetisi. Kompetisi yang dicetuskan
Darwinisme Sosial ini telah merusak akidah dan keimanan sampai kepada
peradaban ummat manusia.
Di ranah sosial, kompetisi masuk ke dalam institusi lembaga
pemerintahan, ke persekolahan bahkan ke lembaga agama, lembaga zakat,
LSM dsbnya.
Mereka berlomba bukan lagi demi kebaikan bersama dalam tugasnya
masing masing sehingga menebar rahmat, tetapi berlomba untuk bertarung
demi kebaikan diri sendiri dengan mengkhianati tugasnya masing masing
sehingga menebar laknat dan maksiat.
Mari kita segera menyadari dan bertaubat dari sistem pendidikan
berbasis persaingan, menuju pendidikan berbasis potensi keunikan dan
akhlak.
Mari segera rancang pendidikan anak anak kita yang membangkitkan
fitrah2 baik mereka, yang mengkonstruksikan budaya kerjasama saling
melengkapi dan menghargai keunggulan unik tiap manusia baik personal
maupun komunal.
Agar bangsa dan peradaban tidak ditegakkan di atas puing2 kehancuran
yang menghinakan martabat manusia, organisasi atau bangsa lain, tetapi
ditegakkan atas manfaat bersama dan rahmat semesta alam.
Salam Pendidikan Peradaban
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
———————————————-
Renungan Pendidikan #23
Renungan Pendidikan #23
“Buat apa kita ajarkan anak kita syariah, jika tidak kita siapkan
generasi aqilbaligh, yaitu generasi yang mampu memikul semua
tanggungjawab syariah dan mampu menjalani peran dan misi penciptaan
manusia di muka bumi, tepat dimulai ketika mencapai aqilbaligh”.
Sebuah nasehat yang provokatif, yang membangunkan jiwa jiwa kita yang
tertidur dan terperangkap rutinitas serta tujuan tujuan hidup pragmatis
yang membutakan tujuan dan misi sesungguhnya dari penciptaan kita.
Padahal tujuan dan misi penciptaan adalah hal pokok yang wajib ditemukan dan yang menjawab mengapa kita harus ada di muka bumi.
Padahal tujuan dan misi penciptaan adalah hal pokok yang wajib ditemukan dan yang menjawab mengapa kita harus ada di muka bumi.
Sesungguhnya inti pernikahan adalah melahirkan dan mendidik generasi
peradaban. Dan inti mendidik adalah agar generasi mendatang, yaitu anak
anak kita, kelak mampu menjalankan peran peradabannya yang merupakan
misi penciptaan (ultimate purpose) manusia di muka bumi. Syariah adalah
pedoman yang melingkupinya.
Begitu pentingnya hal ini maka pernikahan disebut sebagai setengah
agama. Jadi ” Separuh Agama” kita adalah melahirkan dan mendidik
generasi peradaban. Jika demikian maka pada galibnya tiada pernikahan
dan tiada agama tanpa pendidikan di dalam rumah dan di dalam jamaah/
komunitas.
Namun sayangnya kita menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak anak kita
pada persekolahan modern secara ikhlash dan taat. Kita tidak mau
mengembalikan peran sejati kita sebagai ayahbunda, kita tidak mau
belajar bagaimana merancang dan menjalankan pendidikan berbasis fitrah
untuk anak anak kita sendiri.
Hari ini kita saksikan, persekolahan modern, walau berlabel Islam,
gagal menyiapkan generasi yang mampu menjalankan peran dan misi
penciptaannya di muka bumi. Persekolahan modern melahirkan orang2 pintar
terpelajar namun tidak tercerahkan dan tidak memahami apalagi
menjalankan misi penciptaannya di muka bumi.
Misi penciptaan itu meliputi, misi sebagai imaroh (perawat bumi) agar
bumi semakin hijau dan lestari, misi sebagai imama (pemimpin manusia)
agar manusia semakin bijak bestari dan damai harmoni, misi sebagai abid
(hamba yang taat) agar semakin tunduk merunduk dan rendah hati kepada
Sang Pencipta, dan misi sebagai khalifah fil ardh yang menjalani semua
misi penciptaan dan peran peradaban.
Krisis terbesar abad 21 bukan hanya krisis alam seperti global
warming, perubahan iklim yang ekstrim saja, namun juga krisis
kemanusiaan. Banyak manusia modern yang hebat teknologi namun tidak
kenal Tuhan dan tidak kenal dirinya. Tidak tercerahkan dan tidak bahagia
serta tidak produktif.
Kedua krisis ini, alam dan manusia tentu saja menjadi isu yang paling
utama karena indikator keberlangsungan bumi ada pada seberapa baik
kondisi alam dan ada pada seberapa baik kondisi manusia.
Namun jauh sebelum krisis alam, manusia telah mengalami krisis lebih
dahulu. Manusia telah dicerabut dari akar fitrahnya, dari kodrat
penciptaannya, lalu dicetak dan dikemas menjadi kuli kuli industrialisme
dalam perbudakan modern.
Semua krisis ini dimulai ketika modernisme dimulai. Modernisme telah
melakukan kampanye bahwa modernisasi adalah puncak keunggulan yang harus
diseragamkan di seluruh muka bumi, di seluruh bangsa bangsa, di setiap
keluarga dan manusia.
Pada kenyataannya modernisme telah melakukan rekayasa yang berakibat
penyimpangan fitrah manusia dan fitrah alam. Jargon yang mereka
hembuskan senyatanya adalah ambisi mengendalikan dan menternakkan
manusia. Modernisme telah melakukan penjajahan peradaban di seantero
dunia.
Dunia modern, malu mengakui bahwa manusia modern gagal melahirkan
kehidupan yang lebih baik. Persekolahan modern sebagai pilar
modernisasi, malu mengatakan bahwa merekalah akar penyebab semua krisis
ini. Modernisme telah menciptakan kemunafikan dalam semua tatanan
kehidupan manusia.
Persekolahan modern dirancang sebagai alat rekayasa sosial dari
modernisme, dengan maksud untuk membuat manusia lebih modern karena
modern adalah kehebatan universal. Setelah dijalani 200 tahun, ternyata
modernisme malah menyengsarakan manusia dan alam.
Dalam pandangan modernisme bahwa manusia, alam dan bangsa bangsa akan
bahagia bila dicerabut dan diseragamkan kehidupannya sesuai modernsime.
Intinya, kalau mau hebat maka ikuti standar modernisme. Begitulah
persekolahan modern ditanamkan dan dijalankan.
Padahal modernisme tak lebih daripada sebuah alat yang hanya memporak
porandakan fitrah penciptaan personal dan komunal manusia, merusak
fitrah alam, bumi dan seisinya, menyimpangkan fitrah bangsa bangsa di
dunia serta memberangus sistem hidupnya sekaligus.
Penggagas dan penjaja persekolahan modern sudah lebih dahulu
menderita dan hampir masuk jurang. Lalu kita pun apakah mau menuju
jurang yang sama?
Modernisme melahirkan generasi yang melek literasi dan mampu membaca
semua hal kecuali gagal membaca jatidirinya, gagal membaca Tuhannya,
gagal membaca lokalitas budayanya, gagal membaca misi penciptaanya di
muka bumi.
Sesungguhnya Allah swt telah menciptakan setiap makhluk di muka bumi
dengan misi penciptaannya masing masing yang spesifik dan unik. Tidak
diperkenankan mengubahnya sedikitpun, dan setiap intervensi perubahan
akan merusak misi penciptaan itu. Yang diperkenankan hanya membangkitkan
dan menumbuhkan fitrah2 yang telah Allah karuniakan.
Tatanan dunia baru bernama modernisme beserta persekolahan modern
telah gagal menciptakan dunia yang lebih damai dan harmoni, alam yang
semakin hijau lestari, manusia yang semakin bijak bestari.
Mereka, para modernist, telah gagal merekayasa sebuah kehidupan yang
lebih sejahtera dan lebih maju yang mereka sebut modern, itu semua
lantaran mereka mencerabut manusia dari akar dirinya, akar alamnya, akar
masyarakatnya, akar budaya dan akar agamanya.
Mari kita kembalikan peradaban dunia kepada kesejatiannya, dimulai
dari rumah rumah dan komunitas komunitas kita, dimulai dari pendidikan
berbasis fitrah anak anak kita. Agar anak anak kita tidak lagi
tercerabut fitrah fitrahnya dan mampu menjalani peran dan misi
penciptaannya di muka bumi.
Salam Pendidikan Peradaban
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
______________________________________
Renungan Pendidikan #24
Jika beriman dan bersyukur, sesungguhnya menjadi Ayah Bunda adalah
aktifitas yang paling indah dan sangat menyenangkan di muka bumi.
Luqmanul Hakim adalah sosok ayah yang paling mengimani dan mensyukuri
semua karunia fitrah yang Allah berikan pada anak anaknya, sehingga
memiliki kemampuan mendidik yang hebat bahkan namanya diabadikan di
dalam alQuran.
Sayangnya, banyak para orangtua hari ini yang kurang mengimani dan
mensyukuri kenyataan bahwa Allah swt telah mengkaruniakan begitu banyak
kebaikan berupa potensi fitrah2 baik yang telah ada semenjak anak anak
mereka dilahirkan.
Pada kenyataannya banyak dari kita para orangtua yang tidak yakin
dengan potensi2 fitrah yang ada pada anak2nya sehingga terlalu mudah
melalaikan pendidikan anak2nya atau sebaliknya terlalu obsesif menggegas
dan mencetak anak2nya.
Jika memahami peran mendidik dalam landsekap peradaban, maka
pekerjaan mendidik anak adalah pekerjaan para Nabi sepanjang sejarah,
pekerjaan mulia membangun peradaban dengan mendidik generasi peradaban.
Setiap anak yang lahir di tengah keluarga kita, adalah karunia
terindah sekaligus “big project”, yaitu proyek besar peradaban yang
berhadiah syurga dan tentu saja keridhaan tiada tara Allah swt.
Maka bahu membahulah, wahai AyahBunda, KakekNenek, PamanBibi dll
dalam kebersamaan menjalankan proyek besar bernama “mendidik generasi
peradaban untuk melahirkan peran peran peradaban masa depan yang penuh
rahmat dan manfaat”. Mendidik tanpa bertujuan kepada peran peradaban
anak2 kita akan melahirkan generasi yang akan ditindas dan dijajah
peradaban.
Maka segeralah kembali beriman, bersyukur dan berperanlah dalam
mendidik anak anak kita. Iman akan melahirkan keberanian dan ketenangan
serta optimisme dalam mendidik. Syukur akan melahirkan kesadaran
obyektif yang positif atas semua potensi anak anak kita. Peran akan
membuktikan keimanan dan kebersyukuran kita.
Jangan ragu, rancanglah pendidikan berbasis fitrah dan akhlak bagi
anak anak kita. Buatlah perencanaan dan kerangka kerja (framework)
operasional pendidikan anak anak kita dengan sebaik baiknya. Mendidik
potensi fitrah anak anak kita berarti juga mendidik dan mensucikan
fitrah kita sebagai orangtua mereka.
Manfaatkan setiap momen untuk mendidik anak sebaik baiknya. Andai
jika esok lusa berencana berwisata atau berekspedisi atau berjalan jalan
membawa anak2 kita maka rencanakanlah sebaik baiknya, pastikan semua
fitrah direncanakan untuk dibangkitkan, baik fitrah keimanan, fitrah
belajar, fitrah bakat sesuai dengan fitrah perkembangan usianya.
Untuk mampu menjalankan itu maka kita memerlukan “Qoulan Sadida”,
perkataan yang berbobot, yaitu gagasan fikiran yang bernas, keyakinan
perasaan yang mantap, kelembutan dan kefasihan tutur serta kecermatan
dan konsistensi tindakan.
Maka perbanyaklah mendekat kepada Allah, perbanyaklah shaum sunnah,
perbanyaklah tilawah, perbanyaklah mengingat Allah dan bangunlah
sepertiga malam untuk sholat agar Allah swt turunkan Qoulan Sadida.
Begitulah keindahan proyek besar mendidik peradaban.
Renungkanlah, apa yang kita sisakan dari hidup kita tanpa mendidik
anak anak kita sendiri dengan tulus, ikhlash, penuh cinta, tenang dan
optimis.
Merekalah alasan mengapa kita ada di muka bumi, dalam rangka
melanjutkan misi risalah yaitu menyempurnakan akhlak manusia dan
peradaban dari generasi ke generasi sepanjang sejarah manusia hingga
akhir zaman.
Sesungguhnya, anak anak kita adalah karunia dan karya terindah yang
akan menyelamatkan dan membanggakan kita di hadapan Allah swt dan para
Nabi ketika hari akhir nanti.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasispotensi
_____________________________________
Renungan Pendidikan #25
Hal yang sulit didapat bahkan tidak pernah didapat dari sistem
pendidikan yang tidak berbasis kepada potensi fitrah dan peradaban
adalah kedewasaan. Menjadi dewasa atau matang (mature) tidak pernah
menjadi opsi utama dalam proses maupun hasilnya.
Lihatlah begitu banyak kita saksikan orang orang dengan jiwa,
fikiran, perasaan dan sikap “kekanak kanakan” yang terperangkap dalam
tubuh orang dewasa. Sebagian besarnya bahkan menyandang posisi sosial
yang penting, yang menentukan nasib dan hajat begitu banyak orang.
Semuanya diawali oleh pendidikan sejak masa balita. Lihatlah para
balita kita, mereka tidak pernah terpuaskan egonya, tidak tuntas
perkembangan senso motorik dan tidak terpenuhi tumbuhkembang imaji
imajinya. Mereka diperkosa haknya untuk utuh tumbuh fitrahnya pada tahap
usianya demi obsesi kecerdasan, calistung dan persiapan masuk sekolah
dasar.
Anak anak pada tahap 0-6 tahun yang tidak terpuaskan egonya, tidak
tuntas senso motoriknya, tidak selesai bahasa ibunya, tidak berkembang
imajinya, maka pada tahap usia selanjutnya akan tumbuh menjadi pribadi
yang terhambat mengkonstruksi konsep dirinya, membenci proses dan
belajar, bermasalah pada ekpresi perasaan dan gagasan serta nalarnya
dstnya.
Kemudian, masa sekolah dasar. Anak kita, umumnya tidak utuh menjadi
dirinya pada tahap usia dasar, karena mereka digegas untuk persiapan
masuk sekolah menengah. Lihatlah anak anak sekolah dasar, mereka tidak
terpuaskan pengenalan aspek sosialnya, tidak terpuaskan aktifitas,
wawasan dan gagasannya, tidak berkembang mental pembelajar dan nalarnya.
Mereka diperkosa hak tumbuh kembang fitrahnya demi alasan obsesi
kecerdasan dan persiapan masuk sekolah menengah.
Anak anak pada tahap 7 sampai 10 tahun, yang tidak terpuaskan
mengenal nilai sosial, minim aktifitas wawasan gagasan, pendek nalarnya
maka pada tahap usia selanjutnya akan sulit memiliki keterampilan sosial
dan tanggungjawab moral, galau dan krisis kepercayaan diri karena sulit
mengenal siapa dirinya, memiliki nalar dan persepsi yang buruk terhadap
dirinya, Tuhannya, alamnya dan masyarakatnya.
Kemudian, masa sekolah menengah. Mereka lagi lagi gagal terpuaskan
untuk menjadi makhluk sosial dewasa yang eksis, mereka terus dianggap
bocah. Satu satunya penghargaan adalah nilai rapot yang bagus dan harus
terus menerima status menjadi anak kecil. Seluruh energi dipersiapkan
untuk masuk perguruan tinggi bergengs sebagai obsesi walau salah
jurusan.
Maka pemuda2 kita tumbuh menjadi makhluk dewasa yang terisolir dalam
masyarakat, mereka berjamaah dalam geng dan “anak nongkrong” yang
menjauh dari realitas sosial apalagi tanggungjawab sosial. Mereka
memiliki kecerdasan dan keterampilan bersosial yang rendah, mudah
terbakar emosi, menumpuk dendam dan kebencian sosial. Di sisi lain sibuk
mencari eksistensi diri yang hilang lalu berwujud pd perilaku
menyimpang.
Lalu tiba tiba mereka bergelar S1, S2 dan S3. Lalu tiba tiba sebagian
ada yang menjadi elite birokrat baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Lalu, sebagian lagi menjadi elite teknokrat, sebagian lagi
masuk dalam kelas kelas elite konglomerat. Sebagian lagi tersebar dalam
beragam posisi dan profesi di masyarakat.
Lalu, jiwa jiwa anak2 yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa ini,
tiba tiba memegang begitu banyak posisi dengan amanah besar yang
menentukan nasib orang banyak.
Ketidakdewasaan mereka membawa mereka pada parade dan panggung dunia
anak anak yang tidak utuh menjadi dirinya, tidak mengenal utuh Tuhannya,
tidak pernah tuntas mengenal realitas dan tanggungjawab sosialnya,
tidak menyadari keberadaan perannya di semesta, tidak pernah tahu jelas
peran peradabannya.
Amanah amanah besar peradaban itu kemudian bagai “harta karun” di
tangan “anak anak” bertubuh dewasa yang tidak pernah dewasa. Amanah itu
menjadi bahan jarahan dan kerakusan akibat ego yang gagal dipenuhi
ketika balita dan masa aqilbaligh. Dan itu juga akibat tanggungjawab
sosial yang gagal dibentuk ketika usia dasar dan menengah.
Amanah amanah besar yang menentukan begitu banyak nasib ummat,
kemudian hanya menjadi mainan dan permainan semata bagi imaji imaji liar
akibat tidak tuntasnya imaji positif ketika balita dan tidak pungkasnya
nalar serta tidak munculnya sensitifitas sosial ketika usia dasar dan
menengah. Layaknya anak kecil bengal mereka saling serang, saling
menjatuhkan, saling menyungkurkan satu sama lain, dstnya.
Maka kehancuran tinggal menghitung hari bahkan sudah terjadi jauh
sebelumnya. Maka penjajahan peradaban atas bangsa ini adalah
keniscayaan.
Mari kita konstruksikan pendidikan yang sesuai sunnatullah, sesuai
fitrah agar fitrah anak anak kita tumbuh utuh sempurna pada tiap
tahapannya. Agar lahir generasi aqil baligh, insan kamil yang membawa
manfaat, maslahat dan menebar rahmat. Agar lahir peradaban dengan peran
peran peradaban yang berakhlak mulia.
Sesungguhnya, itulah misi sesungguhnya keberadaan kita di muka bumi.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
______________________________________
Renungan Pendidikan #26
Pernikahan adalah peristiwa besar peradaban. Ketahuilah bahwa
“perjanjian” pernikahan setara dengan perjanjian Allah kepada para
pemimpin peradaban sekelas Nabi dan juga setara dengan perjanjian Allah
kepada komunal peradaban sekelas bangsa Israil yang melahirkan Nabi
Nabi.
Al-Quran menyebut pernikahan sebagai Mitsaqon Gholidzo (Perjanjian
yang sangat kuat). Mitsaqon Gholidzo dalam al-qur’an hanya disebutkan 3
kali yaitu pada saat Allah mengangkat Bukit Thursina ketika mengadakan
perjanjian dengan Bani Israil (Q.S. 4:154), pada saat Allah mengambil
perjanjian dengan para rasul ulul azmi (Q.S. 33:7-8), dan pada ikatan
pernikahan (Q.S. 4:21).
Perhatikan bahwa selain ikatan pernikahan, dua ikatan lainnya adalah
terkait dengan peristiwa besar peradaban manusia. Lalu mengapa
pernikahan begitu penting sehingga perjanjiannya disetarakan dengan
peristiwa peradaban yang begitu fenomenal dan menentukan?
Sepanjang sejarah, peran penting peradaban kenabian adalah mendidik
generasi peradaban. Pekerjaan mendidik generasi adalah pekerjaan para
Nabi.
Sepanjang sejarah bangsa bangsa, peran penting komunal sebuah bangsa
atau komunitas dalam peradaban adalah juga mendidik generasi peradaban.
Tidak ada bangsa yang memiliki peran peradabannya tanpa pendidikan
peradaban generasinya.
Maka begitupulalah peran di dalam sebuah lembaga pernikahan, peran
pentingnya adalah juga peran mendidik generasi peradaban. Runtuhnya
banyak lembaga pernikahan karena di dalamnya tidak lagi tersisa peran
mendidik anak2 nya.
Ketika banyak keluarga menyerahkan pendidikan anak anaknya kepada
lembaga di luar rumah maka sesungguhnya keluarga itu telah kehilangan
peran pendidikan peradabannya. Lagipula apa guna kita menikah bila
melalaikan peran pendidikan di dalam keluarga kita.
Sesungguhnya peradaban dimulai dari sebuah lembaga terkecil peradaban
bernama keluarga atau rumah dimana di dalamnya ada pendidikan generasi
peradaban. Semua unsur peradaban dalam skala kecil dan miniatur tersedia
di dalam sebuah lembaga pernikahan.
Lihatlah, dalam lembaga pernikahan yang bernama keluarga atau rumah
tangga, ada sosok pemimpin peradaban, ada sosok penumbuh dan penjaga
peradaban, ada sosok yang dipimpin dan yang ditumbuhkan, ada
infrastruktur berupa sarana dan perlengkapan pendukung, ada perasaan
cinta yang mendalam tulus, ada kebutuhan saling menasehati dan
kebersamaan, dan ada sistem nilai kehidupan yang diimani.
Sistem nilai kehidupan inilah yang utama, yang diyakini bersama
sehingga melingkupi semua aktifitas dan perjalanan maupun tujuannya.
Maka menjadi bisa diterima akal dan hati mengapa pernikahan
memerlukan keyakinan dari sistem nilai yang sama ketika memulainya.
Tidak hanya Ikatan cinta dan ikatan iman namun juga ikatan misi dan
peran peradaban yaitu mendidik generasi peradaban.
Maka sesungguhnya rumah rumah kita adalah miniatur peradaban dimana
sebuah peradaban yang indah dan cemerlang dimulai dikonstruksikan dan
dimuliakan dari sini. Proses mengkonstruksi dan memuliakan itulah yang
kita namakan pendidikan.
Sungguh suatu tugas dan peran yang teramat besar dan mulia,
perjanjian yang agung namun sederhana. Besar dan mulia karena terkait
peran mendidik generasi peradaban yang akan melanjutkan misi risalah
kenabian dan kepemimpinan orang2 yg bertaqwa.
Sederhana karena semua potensi fitrah baik fitrah personal maupun
fitrah komunal telah Allah sediakan pada diri kita, anak anak kita, alam
sekitarnya dan masyarakatnya, serta sistem nilai kehidupan.
Maka optimislah, karena setiap kita yang berada dalam pernikahan,
adalah kita yang sedang dalam perjanjian yang agung dengan Allah swt
untuk menjalankan peran keluarga dalam peradaban, yaitu mendidik
generasi peradaban.
Maka jangan pernah khawatir, setiap peran peradaban adalah peran taqwa, dan tentu saja dibarengi jaminan rezki dan semua sarananya serta jalan keluar dari segala masalahnya, yaitu mereka yang menjalani peran2 peradabannya, termasuk peran mendidik generasi peradaban.
Maka jangan pernah khawatir, setiap peran peradaban adalah peran taqwa, dan tentu saja dibarengi jaminan rezki dan semua sarananya serta jalan keluar dari segala masalahnya, yaitu mereka yang menjalani peran2 peradabannya, termasuk peran mendidik generasi peradaban.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
__________________________________________
Renungan Pendidikan #27
Siapa sesungguhnya guru yang kita percaya dan pantas mendidik anak anak kita?
Mari kita pilah. Sebagian guru, mungkin adalah guru pemula, yaitu guru yang masih disibukkan oleh dirinya.
Sebagian lagi adalah guru biasa, yang sehari hari mengajar apa adanya, sulit disebut professional walau mungkin ikhlash.
Mari kita pilah. Sebagian guru, mungkin adalah guru pemula, yaitu guru yang masih disibukkan oleh dirinya.
Sebagian lagi adalah guru biasa, yang sehari hari mengajar apa adanya, sulit disebut professional walau mungkin ikhlash.
Sebagian yang lain mungkin guru professional, yang merasa
berpengalaman dan pasang harga, namun profesinya mungkin bukan panggilan
hidupnya.
Sebagian dari guru professional adalah guru ikhlash, mungkin bisa
saja ada yang tidak berbakat, yaitu mereka yang tidak mempermaslahkan
bayaran atau manfaat profesinya, namun tidak memiliki sifat sifat
sebagai guru.
Sebagian dari guru ikhlash ada yang berbakat, yaitu mereka yang
menjadikan peran guru sebagai panggilan hidupnya, tulus dan penuh cinta.
Professional namun mereka tidak mempermasalahkan bayaran, mereka sudah
selesai dengan dirinya, mereka sibuk berkarya. Ini role model yang baik.
Sebagian dari yang ikhlash dan berbakat ada yang menjadi guru
mujahid, yaitu yang sungguh2 berjuang mendidik dan memberdayakan
komunitas. Keteladanannya tidak diragukan.
Sebagian dari yang ikhlash dan berbakat, ada yang menjadi mujadid dan
mujtahid, yaitu guru mujahid yang melahirkan gagasan gagasan pendidikan
baru yang genuine, menggali dari sumber Kitabnya, lalu membangun ruh
peradaban komunitas baru di atasnya.
Lalu siapakah diantara mereka yang layak kita pilih untuk anak anak kita? Simpan jawaban anda sekarang.
Sekarang lihatlah realitanya, pemerintah selalu menyalahkan kualitas guru yang rendah, yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, padahal pemerintah yang membangun sistem persekolahan dan keguruan.
Sekarang lihatlah realitanya, pemerintah selalu menyalahkan kualitas guru yang rendah, yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, padahal pemerintah yang membangun sistem persekolahan dan keguruan.
Lihatlah para pengamat, para peneliti, bahkan aktifis guru sendiri
seolah sepakat mengaminkan jebloknya kualitas bahkan mentalitas guru.
Mereka berlomba mengusulkan peningkatan kompetensi guru, walau
sebenarnya juga tidak yakin perubahannya. Kompetensi bukan cuma skill
dan knowledge bukan?
Semua kekacauan ini, akar masalahnya adalah formalitas pemusatan
persekolahan, dimana guru hanya menjadi robot2 kurikulum pusat, kaki
tangan birokrat, yang kehilangan kesejatiannya. Guru dan siswa adalah
korban sistem termasuk para orangtuanya. Semua peran kehilangan
kesejatiannya.
Kehilangan kesejatian berarti kehilangan harga diri, kehormatan dan kreatifitas termasuk rasa malu.
Dahulu kala, sebelum era revolusi industri, guru guru adalah
senyatanya sosok yg keteladanannya dinilai dan yg dihormati, mereka
dipilih oleh komunitas krn rekam jejaknya dan keilmuannya yg memang
relevan bagi kebutuhan warga komunitas dan anak2nya terkait pendidikan
dan pemberdayaan.
Warga bergotong royong bahu membahu memberi ganti atas waktu mencari
nafkah bagi guru2 yg terpakai utk mendidik anak2 mereka dan
memberdayakan warga.
Kini komunitas tdk pernah diajak bicara, tiba2 di desa2 dan
dikampung2 berdiri sekolah, guru2nya didatangkan entah dari mana,
pelajarannya tdk nyambung dengan realita desa dan kampung, warga
dicekoki pandangan bhw kalau tdk bersekolah di sekolah negara maka jadi
kampungan, kurang kerjaan, kurang ajar dan “gak makan sekolahan.”
Guru2 sekarang tdk lagi sungguh2 dihormati, kecuali sopan santun
belaka. Keilmuan mereka dianggap dagangan yg sdh dibarter dengan gaji yg
dibayar dari pajak.
Guru2pun merasa tdk perlu mendidik, apalagi terfikir memberdayakan
warga, mereka umumnya hanya menghabiskan bahan ajar lalu menunggu
gajian. Beberapa ada yg ikhlash namun maaf, pasrah bongkokan. Beberapa
lainnya susah ikhlash, baik krn merasa terzhalimi atau menikmati
mengambil kesempatan dalam kerusuhan.
Di mata orangtua dan siswa bahkan masyarakat, guru sering jadi sosok
yg diolok2, dianggap pegawai rendahan yang menjadi guru krn terpaksa.
Walau kini gaji guru sdh lumayan, sosok guru tetaplah sosok petugas
birokrat atau pekerja gajian yg ditugasi menghabiskan kurikulum dengan
tupoksi yang standar.
Akhirnya gurupun kebanyakan menstigma dirinya sbg sekadar tukang mengajar saja.
Nah, sekarang keluarkan jawaban kita yang tadi di atas. Kita pasti segera tahu siapa guru peradaban terbaik untuk anak anak kita dan generasi masa depan Peradaban.
Nah, sekarang keluarkan jawaban kita yang tadi di atas. Kita pasti segera tahu siapa guru peradaban terbaik untuk anak anak kita dan generasi masa depan Peradaban.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
____________________________________________
Renungan Pendidikan #28
Ada sekolah negara, yang misinya untuk kepentingan negara. Ada
sekolah komunitas yang misinya untuk kepentingan komunitas. Ada sekolah
rumah, yang misinya merumahkan sekolah dan mensekolahkan rumah.
Ada sekolah manusia, yang misinya memanusiakan manusia. Ada sekolah alam, yang misinya meng”alam”i alam dan menghijaukan alam. Ada sekolah kehidupan yang misinya membekali keahlian hidup dan kehidupan sesuai zaman.
Ada sekolah manusia, yang misinya memanusiakan manusia. Ada sekolah alam, yang misinya meng”alam”i alam dan menghijaukan alam. Ada sekolah kehidupan yang misinya membekali keahlian hidup dan kehidupan sesuai zaman.
Ada sekolah karakter, yang misinya membaguskan personal karakter dan
komunal karakter kolektif atau budaya. Ada sekolah Islam, yang misinya
mengIslamkan orang Islam.
Ada sekolah pedagogi kritis, yang misinya memberi solusi bagi realitas sosial secara kritis. Ada sekolah keunggulan lokal, yang misinya menghidupkan dan mengembangkan keunggulan ekonomi lokal, misalnya kerajinan, pertanian dsbnya.
Ada sekolah pedagogi kritis, yang misinya memberi solusi bagi realitas sosial secara kritis. Ada sekolah keunggulan lokal, yang misinya menghidupkan dan mengembangkan keunggulan ekonomi lokal, misalnya kerajinan, pertanian dsbnya.
Ada sekolah pembebasan, yang membebaskan anak anak untuk menjadi
dirinya. Ada sekolah penjara dan pemaksaan, yang memaksa anak anak untuk
menjadi seperti yang sekolah mau.
Ada sekolah bakat yang fokus pada bakat. Ada sekolah kecerdasan yang
fokus pd kecerdasan. Ada sekolah akademik yang fokus akademik. Ada
sekolah agama yang berharap mampu mencetak para ulama. Ada sekolah ahli
alQuran yang ingin melahirkan sebanyak banyak hufadz.
Ada juga sekolah gado gado memadukan tanpa tahu konsepnya masing
masing. Ada juga sekolah yang merupakan hibrida dan kombinasi dari dua
atau lebih model sekolah sekolah di atas.
Semuanya mengklaim yang terbaik, yang paling dekat dengan kebenaran. Lalu mana sesungguhnya sekolah yang terbaik untuk anak anak kita??
Semuanya mengklaim yang terbaik, yang paling dekat dengan kebenaran. Lalu mana sesungguhnya sekolah yang terbaik untuk anak anak kita??
Yang jelas tidak ada satu sekolah pun yang cocok untuk semua orang.
Satu satunya sekolah yang cocok adalah sekolah yang menumbuhkan semua
potensi fitrah anak anak kita.
Yang jelas tidak boleh ada sebuah lembaga pendidikan didirikan di
luar kepentingan menegakkan peradaban dan di luar misi penciptaan atau
keberadaan manusia di muka bumi.
Yang jelas tidak boleh ada sebuah lembaga pendidikan yang
menyeragamkan semua anak atau mengabaikan satu potensi fitrah pun,
misalnya hanya memanusiakan manusia saja, hanya mencerdaskan manusia
bukan kehidupan dstnya.
Mari kita lihat lebih komprehensif, mari pandang pendidikan sebagai
bagian dari landsekap peradaban, yaitu dimensi yang melakukan
transformasi potensi fitrah peradaban personal dan komunal kepada peran
personal peradaban (rahmatan lil alamin, bashiro wa naziro) dan peran
komunal peradaban (ummatan wasathon, khoiru ummah).
Pendidikan peradaban adalah pendidikan pada generasi peradaban yang
membangkitkan fitrah2 peradaban menjadi peran peran peradaban baik
personal dan komunal. Peran peran peradaan yang penuh rahmat dan manfaat
inilah yang merupakan indikator sukses lembaga pendidikan, inilah
indikator terbaik lembaga pendidikan sepanjang zaman.
Pendidikan peradaban bukanlah pendidikan yang melahirkan budak budak
peradaban, bukanlah pendidikan yang menternakkan dan mempabrikkan anak
anak kita.
Karenanya, dalam pandangan peradaban, lembaga pendidikan haruslah
lembaga yang meyakini dan mensyukuri adanya semua potensi fitrah
personal dan fitrah komunal.
Bukan hanya menumbuhkan sebagian fitrah saja, tetapi semua potensi
fitrah lalu membangkitkan dan menumbuh-sempurnakannya sehingga menjadi
cemerlanglah peradaban dan tuntaslah misi penciptaan dan peran2 setiap
manusia di muka bumi termasuk anak anak kita.
Lembaga pendidikan sejatinya adalah taman taman peradaban yang harus
mampu menumbuh-sempurnakan semua benih potensi fitrah personal lalu
menginterintegrasikannya dengan potensi fitrah komunal serta
melingkupinya dengan sistem kehidupan yang diyakininya sehingga
melahirkan pohon pohon, bunga bunga berupa peran peran peradaban dengan
semulia mulia akhlak.
Mari kita jadikan rumah rumah kita, jamaah jamaah kita, komunitas
komunitas kita, sebagai taman taman peradaban, sebagai lembaga
pendidikan sejati terbaik di muka bumi untuk melahirkan generasi
peradaban terbaik dengan peran peran terbaik, pada peradaban terbaik.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbsisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbsisfitrah dan akhlak
Renungan Pendidikan #29
Masa lalu pendidikan para orangtua jelas tidak dipungkiri banyak
berpengaruh pada cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak serta
cara bersikap dalam mendidik anak anaknya. Ada siklus kebaikan dan ada
siklus kezhaliman dalam mendidik anak yang berlangsung dari generasi ke
generasi.
Dalam sebuah keluarga besar bangsawan, dijumpai bahwa generasi sang
cucu sering mensetrap (menghukum) adiknya yang lebih kecil hanya karena
tidak patuh pada kakaknya.
Sang kakak kadang menghukumnya dengan mengikat adiknya di tiang
jemuran seharian atau memasukkan ke kamar mandi berjam-jam atau memukul
sang adik. Dalam keluarga mereka, begitulah disiplin dan ketaatan
ditegakkan.
Usut punya usut ternyata ayahnya dulu diperlakukan demikian oleh
ayahnya lagi atau kakeknya. Usut punya usut, termyata dulu kakeknya juga
diperlakukan demikian oleh gurunya di sekolah kolonial Belanda.
Kembali kepada cerita adiknya sang cucu, karena tidak memiliki lagi
sasaran vertikal ke bawah maka dia sering mengikat kucing atau hewan
peliharaan di tiang jemuran atau dimasukkan ke kamar mandi atau dipukul
jika tidak patuh.
Jelas hewan peliharaan tidak punya sasaran lagi vertikal ke bawah,
mereka stres. Dan setiap kali stres hewan tersebut akan membuat
kekacauan di rumah. Dan setiap kali sang ayah melihat kekacauan di
rumah, maka menjadi alasan sang ayah untuk mengikat anaknya di tiang
jemuran. Inilah siklus kezhaliman.
Kembali kepada kakeknya, ternyata ayah sang kakek atau buyutnya
mendidiknya dengan cara yang jauh berbeda. Sang buyut hanya mementingkan
akhlak dan kemandirian hidup. Persekolahan kolonialah yang telah
mencerabut sang kakek dari pendidikan sejati di keluarganya, ketika
masih anak anak.
Tanpa terasa sudah tiga generasi yang tercekoki oleh sebuah model
pendidikan yang sama, lahirlah generasi dengan cara pandang yang sama,
cara berfikir dan cara merasa serta bersikap yang sama dan pastinya
hukuman yang sama. Apakah akan dilanjutkan?
Berapa banyak orangtua, guru, pendidik yang tidak mau merubah mindset
nya tentang pendidikan yang sejati. Mereka susah “move on” , susah
hijrah baik hijrah pemikiran, hijrah mentalitas, hijrah pensikapan dan
hijrah tindakan.
Berapa banyak keluarga yang mendidik anak anaknya sesuai profesi
kakeknya atau bapaknya. Keluarga militer cenderung mendidik anak2nya
dengan gaya disiplin militer, maka anak anaknya pun bergaya militer.
Begitupula keluarga dokter, keluarga guru bahkan keluarga pedagang.
Ini obsesi namanya, padahal mendidik adalah menumbuhkan fitrah bukan
mematikannya dan bukan pula mencetak seperti profesi buyut keluarganya.
Para orangtua, heran dan mengeluhkan perilaku anak anaknya bahkan
pemimpinnya, mereka mengeluhkan hasil pendidikannya itu yang nir-akhlak
dan nir-peran atas bakat, tetapi terus mengulangi sistemnya, tanpa mau
mengembalikan kepada kesejatian pendidikannya.
Maka jika ingin peradaban dan destiny negeri ini membaik, maka
lahirkan generasi peradaban terbaik dengan pendidikan sejati, segera
beristighfarlah, berlepas dirilah, putuslah rantai siklus kezhaliman
ini.
Kembalikan semua kepada kesejatian misi dan perannya.
Kembalikan semua kepada kesejatian misi dan perannya.
Kembalikan cara berfikir kita bahwa kemuliaan dan kehebatan anak anak
kita bukanlah dengan menguasai dan berkuasa atas segalanya, tetapi
adalah apabila fitrah2 anak2 kita berhasil ditumbuhkan dengan paripurna,
sehingga menebar rahmat dan manfaat dengan semulia mulia akhlak.
Kembalikan cara merasa kita bahwa kemuliaan dan kehebatan anak anak
kita, bukanlah merasa paling hebat segalanya, namun adalah apabila
mereka dididk dengan ketulusan dan kecintaan yang penuh sehingga bangkit
kesadaran pada fitrah iman, fitrah bakat, fitrah belajar dan fitrah
perkembangannya menuju peran peradabannya.
Kembalikan cara bertindak kita bahwa kemuliaan dan kehebatan anak
anak kita bukanlah dengan menjejalkan sebanyak banyak keterampilan dan
pengetahuan lalu sekeras kerasnya melecut dalam persaingan, namun adalah
dengan menemani dan memberi ruang kesempatan yang luas dan nyaman bagi
anak anak kita sehingga membangkitkan dan menumbuhkan potensi fitrah2
baiknya,
agar potensi fitrah keimanan mereka bertemu dengan sistem kehidupan dan kearifan sehingga mewujud menjadi akhlak mulia,
agar potensi fitrah bakat mereka bertemu dengan potensi fitrah kehidupan dan zaman sehingga mewujud menjadi peran spesifik khalifah di muka bumi,
agar potensi fitrah belajar mereka bertemu dengan potensi fitrah alam sehingga mewujud menjadi karya inovatif yang membumi.
agar potensi fitrah bakat mereka bertemu dengan potensi fitrah kehidupan dan zaman sehingga mewujud menjadi peran spesifik khalifah di muka bumi,
agar potensi fitrah belajar mereka bertemu dengan potensi fitrah alam sehingga mewujud menjadi karya inovatif yang membumi.
Mohonkanlah kepada Zat Yang Maha Rahman, agar kita mampu mewujudkannya bersama keluarga dan komunitas secara berjamaah.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
Renungan Pendidikan #30
Tahun 1980an, dunia demam “Genius Baby”, pasalnya dunia digemparkan
dengan sebuah asumsi yang nampak keren dan kompetitif, padahal belum
bisa dibenarkan secara ilmiah, yaitu adanya Golden Age, masa masa emas
di usia lima tahun pertama kehidupan manusia.
Maka berbondong2lah para orangtua di dunia, termasuk kaum Muslimin
mengaminkan dengan menggegas bayinya. Buku buku, mainan mainan bayi yang
dianggap menggenjot kecerdasan otak, laku keras di pasaran, seolah
tidak mau tertinggal dalam pacuan mencetak bayi jenius.
Alat alat penggegas seperti Flashcard, Puzzle, buku Glen Doman
semisal “mengajarkan bayi anda membaca”, “mengajarkan bayi anda
matematika” laku keras di pasaran, termasuk program dan workshop
orangtua untuk melahirkan bayi jenius.
Asumsi tanpa sandaran ilmiah ini, dan tanpa landasan syariah ini
begitu diimani, padahal disandarkan pada pandangan Darwinist Materialist
yang memberhalakan keunggulan ras manusia lewat materi otak, bahwa ada
kaitan antara volume otak dan kecerdasan.
Asumsi ini dengan gegabah berani menyatakan bahwa selama masa lima
tahun pertama otak bayi dipenuhi oleh sambungan sambungan atau synapsis
yang apabila tidak “segera diisi” atau “dijejali” maka akan meluruh
terbuang percuma.
Tak pelak lagi para orangtua di barat di timur termasuk kebanyakan
kaum Muslimin mengekor sampai masuk ke lubang landak sekalipun.
Tahun 90an, penelitian penelitian terbaru membuktikan bahwa Sinapsis
atau sambungan syaraf yang diduga meluruh dan tidak tumbuh selamanya
lagi setelah usia lima tahun, ternyata tumbuh kembali pada usia setelah
lima tahun. Meluruh kembali dan tumbuh kembali pada tiap tahap.
Ditemukan juga anak2 yang dipaksa menghafal nama2 ratusan pesawat dan
gambar2nya ketika berusia 8 bulan, ternyata sama sekali tidak
mengingatnya ketika berusia 8 tahun. Anak yang sejak bayi usia 8 bulan
diajarkan membaca, tidak banyak bedanya dengan anak anak yang baru
belajar membaca di usia 8 tahun.
Sesungguhnya dalam Islam, setiap tahap pertumbuhan manusia adalah
masa emas semuanya, sepanjang benar dan tepat sesuai dengan tahap
usianya itu. Kita saksikan para Sahabat Nabi bahkan Nabi SAW sendiri
cemerlang pada tiap tahap usianya.
Golden Age pada usia 0-6 tahun tentu berbeda dengan golden age pada
usia 7-14 tahun, juga berbeda pada tahap tahap usia selanjutnya. Bahkan
Rasulullah saw juga menemui Golden Age pada tiap tahap usia bahkan
ketika berusia di atas 40 tahun, golden nya berkembang eksponen sampai
akhir hayatnya.
Pada usia 0-6, golden age bukan pada aspek kognitif, tetapi pada
aspek senso-motorik, aspek muscle memory, aspek imaji, aspek belajar di
alam, aspek bahasa ibu. Pada usia ini kecerdasan dibentuk bukan dari
leher ke atas, tetapi leher ke bawah dengan memperbanyak aktifitas dan
imaji2 positif.
Pada usia 7-10 golden age juga hanya sedikit kognitif, lebih banyak
aspek attitude dan sosial. Personality dan Kognitif mengalami masa emas
di usia 11 tahun sampai 14 tahun dstnya.
Bila tidak tepat cara dan tujuan sesuai tahapnya, malah akan beresiko
kehilangan emasnya sama sekali. Masih ingat kisah angsa bertelur emas
bukan? Ketergesaan akan berakibat terpendam dan hilangya fitrah anak
anak kita.
Ketahuilah, sepanjang hidup dan kehidupan kita di muka bumi adalah
Golden Age, masa masa emas, apabila kita mampu menjaga dan membangitkan
fitrah sesuai tahap perkembangannya lalu berujung kepada menebar rahmat
dan manfaat . Mustahil Allah swt membatasi golden age hanya sebatas
kecerdasan otak di usia 0 – 5 tahun.
Mari kita rancang pendidikan berbasis fitrah dan akhlak sesuai
tahapan usia anak anak kita secara sungguh sungguh dan optimis, agar
cahaya emasnya berpendar pendar indah sampai seluruh penjuru bumi.
Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
disadur dari iwaza.wordpress.com
Masha Allah Tabarakallah sangat tercerahkan sekali.... Terimakasih sudah menshare tulisan indah ini....
BalasHapusMasha Allah, sangat lengkap, terima kasih ....
BalasHapus