Standing Ovation


“ If you believe in something, you should believe that everything is possible! Especially when you were pressed. Although  treasure and knowledge is a power, but dreams is a super power.” (Mei Yunlusi, 2011)

            Diriku  tidaklah terlahir dari keluarga sastrawan yang pandai merangkai kata menjadi sebuah mantra. Seorang teman pun pernah berkata kepadaku, bahwa menulis adalah bakat alami, yang diwariskan oleh darah sastrawi dari kedua orang tua kita. Dengan analisisku yang sederhana, makna yang kutangkap dari perkataannya adalah tidak semua orang bisa menulis indah dengan gaya bahasa memikat dan memiliki nilai. Merasa tidak percaya diri, mengurungkan niat untuk menulis pun menjadi pilihan satu-satunya. Bahkan, walaupun sekedar opini untuk majalah kampus atau yang ngetrend sekarang nge-blog, atau sederhananya lagi menulis notes dalam facebook pun tidak berani, hanya karena sebuah ketakutan yang berlebihan terhadap tulisannya sendiri dan ketidakpercayaan diri terhadap kebenaran dan kekuatan dari apa yang dia tulis. Takut dengan penilaian orang, hingga akhirnya dia bertanya padaku yang bisa dibilang tukang nge-note, dia berkata bahwa tulisanku sebenarnya biasa saja dengan gaya bahasa yang sebenarnya jauh dari standar jurnalistik atau jika boleh kusederhanakan sendiri apa yang ingin disampaikannya adalah, “tulisanmu lho gak ada bagusnya, pede banget nulis”, saat itu hanya kujawab dengan senyum getir, dongkol sedikit tapi geli juga aku dibuatnya.
            Jika boleh jujur, sebenarnya sejak kapan aku bisa “menulis” aku tidak tahu, semua itu mengalir begitu saja. Jika diingat di zaman SMA, aku juga tidak pernah melahirkan karya fenomenal apapun dalam bidang karya tulis, di kampus pun tak ada tanda-tanda seperti itu pula. Hanya saja yang kuingat aku mulai giat menulis sejak seorang teman, sebut saja ketum OSIS ’06-07, meminjamiku sebuah buku yang ternyata efeknya sangat luar biasa sekali padaku hingga saat ini. Sederhana saja, menulis mimpi, ya hanya itu, menulis mimpi. Tapi ternyata daftar impian yang mungkin hanya lelucon SMA saat itu adalah tiket – tiket kehidupan bagi diriku. Satu demi satu list mimpi tersebut terwujud, dan barisan mimpi yang belum terwujud seolah peta penunjuk jalan dalam kehidupanku yang harus kutempuh selanjutnya. Semua itu berawal dari mimpi.
            Entahlah bagaimana detail kisahnya, ibarat sebuah pelayaran, hanya ada dua pilihan dalam hidup. Berlayar dipermainkan ombak ataukah menegakkan layar menuju pantai harapan. Maka, berbahagialah jiwa yang tahu kemana harus berlabuh. Mengetahui tujuan hidup adalah suatu keharusan dalam diri. Karena waktu tak selamanya sejalan dengan apa yang kita harapkan. Umur berlalu, visi belum terumuskan. Kekuatan berkurang, misi belum tertata. Hingga akhirnya tergadailah jiwa-jiwa kehidupan yang belum tahu, kemana hidup ini berlabuh. Namun, menghabiskan waktu untuk senantiasa menyetiakan diri mencari makna hidup tidak akan pernah membuat hidup kita menjadi utuh. Karena yang ditawarkan sebagai hasil adalah kegelisahan dan rasa tak pernah terpuaskan sehingga mencaci-maki kehidupan merupakan jalan yang hanya satu-satunya menjadi pilihan. Lakukan apa yang harus kita lakukan, abaikan setiap hal yang pantas diabaikan dan fokus terhadap tujuan adalah satu-satunya cara agar Tuhan yang Ke-Esaannya tiada berbanding mengutuhkan hidup kita.
            Hidup tidak akan pernah terulang, semua berlalu, dan terus berlalu. Masing-masing meninggalkan jejak yang hanya bisa ditengok kembali. Sementara waktu terus bergulir, hingga suatu ketika waktu menyapa, kesadaran terbangun dan berkata, ‘ ternyata hidup telah berlalu, dan waktu terlalu singkat untuk dilalui’. Ya, hidup memang sangatlah singkat. Sesingkat reflek kerdipan mata saat ada benda asing melanda. Mungkin jika manusia sanggup mengkalkulasi biaya hidupnya di dunia, harga perliter oksigen yang dihirupnya, harga perliter darah yang mengalir di tubuhnya, sebagai manusia yang memiliki sifat dasar ekonomis pasti akan selalu memperhitungkan hidupnya. Tapi yang pasti, raga ini terbatas dan akan lelah pastinya sebelum akhirnya berhenti dan beristirahat. Gajah mati meninggalkan gading, namun manusia mati meninggalkan nama. Menjadi manusia yang berarti, lalu mati adalah hadiah perpisahan terbaik untuk dunia ini. Janganlah memutuskan mati sebelum mati. Oleh karena itu, mencoba mengabadikan setiap pemikiran dan membagikannya kepada orang lain adalah cara baik untuk menjadikan hidup kita lebih kaya, karena waktu yang menyertai kemampuan raga ini terbatas untuk melakukan dan mencari pengalaman hidup ini seorang diri. Dan menulis adalah salah satu upaya untuk bisa hidup sesudah mati.
            Berawal dari tulisan – tulisan sederhana yang sering ter upload di note facebook, diriku mencoba memupuk kepercayaan diri untuk mentransfer informasi dengan media komunikasi visual. Jumlah komentar pembaca yang ku-tag pun seakan menjadi indicator keberhasilan dan apresiasi tulisanku, tak peduli bagaimana komentar mereka, akan tetapi rasa puas dan bangga saat ada orang yang mengapresiasi karyaku aku semakin semangat menulis. Dulu, diriku sempat menuliskan hal – hal tersebut di buku diary(berasa anak SD saja, hehe), namun ternyata keberadaan diary tidak terlalu memuaskan bagiku, akhirnya blogspot pun menjadi tempat bereksplorasi bagiku. Akan tetapi, di blog diriku tidak terlalu bisa mengoptimalkan diri karena blogku sepi pengunjung dan aku tak bisa memeliharanya. Yang kubutuhkan adalah feedback dari pembaca, dan tak kudapati itu. Akhirnya sebuah terobosan baru di dunia maya berkembang, facebook, dari sinilah semangat menulisku bertambah tinggi, karena apa yang kutuliskan di note selalu mendapat respon dari teman – teman, baik itu respon positif, negative ataupun respon penagihan royalty karena copas karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya(sengaja biar dapat penilaian,^^v).
            Tulisan berbau curhatan pun menjadi karya – karya “top comment” yang mengantarkanku pada mimpi selanjutnya, yakni bikin buku, sebuah tawaran dari teman untuk menyumbang karya di Latansi dan Da’wah is a Dynamic Art serta proyek ksatria Airlangga adalah karya “gerudukan” yang semoga bisa terselesaikan sebelum aku menulis novel trilogiku, semoga Allah memudahkan, aamiin(yang sampai sekarang 'ksatria Airlangga" stagnan , tapi proyek lainnya  jg jalan di tempat sepertinya -.-“). Kemudian agar lebih terkesan intelek, aku merambah ke karya tulis. Dan hasilnya pun lumayanlah, apresiasi dari teman – teman cukup baik, aku bisa keliling kota atas nama pendelegasian lomba, meski lebih sering tidak menang, namun setidaknya bisa jalan – jalan, hehe. Dari pendelegasian tersebut biasanya temanku pun bertambah, tak hanya lingkup universitas, regional, nasional tapi juga internasional. Alhamdulillah, penghujung Desember 2010 kemarin, berbekal 15 halaman pappers, salah satu mimpiku yang kutuliskan di kertas usang berhasil tercoret, yakni karyaku diakui dunia, berdiri di hadapan dunia internasional, mengelilingi Malaysia dan Singapura, tanpa harus mengeluarkan uang pribadi (karena pastinya aku tak punya banyak uang untuk itu)bahkan dinobatkan sebagai The Youngest Presenter diantara semua peserta lomba yang mayoritas adalah Prof. dan yang paling muda kedua setelahku adalah Mr. Mahmoud Javad, Phd student of Islamic Azad University, Iran. Cukup heran pula, standing ovation diberikan padaku hanya karena diriku berbeda usia dengan mereka dalam mengukir sebuah karya, ekstra kekagetanku pun menggelayut saat aku menyebutkan kalimat “I am bachelor student of economic development, Airlangga University, Indonesia” dan sontak semua peserta tanpa dikomando memberikan standing applause di akhir presentasiku, semula aku sudah takut kalau saja aku tak mampu menjawab pertanyaan dari mereka, namun jika kalian berdiri di sana, pasti kaget, karena pertanyaan yang dilontarkan tak ada kaitannya sama sekali dengan karya yang kupaparkan, kecuali, “are you sure that you are bachelor student?”. Itu semua berawal dari hal sederhana, yakni keberanian menulis, menuangkan gagasan, tak peduli seberapa besar kapasitas ilmu kita, yang terpenting adalah seberapa besar upaya kita untuk bisa menyelesaikannya dan mengakhirinya dengan indah.
            Terimakasih untuk Allah yang telah menganugrahkan semua ini, untuk kedua orang tuaku yang menjadi orang tua terdahsyat sepanjang masa, adik-adik kecilku yang bahkan lebih tinggi dari diriku sekarang, dan seorang teman yang mengajarkanku tentang keberanian bermimpi dan menuliskan mimpi – mimpi itu, tidak hanya di kertas usang, namun pula menuliskannya di kehidupanku. Ini tulisanku, mana tulisanmu? Mulailah menulis sekarang juga, : )

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fitrah Based Education

Gajah Abrahah

Watch