Ibu

Entah kenapa, tiba-tiba saja saya ingin mempublish materi yang pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu, sebuah pesan sederhana, yang mungkin tak terlalu mengena jika kita tidak bisa memposisikan diri kita jauh darinya, akan tetapi, jujur, ketika menyampaikan materi ini, sempat mata saya berkaca-kaca, Anda tau kenapa, karena selama ini, belaian lembut wanita itu tak terlalu saya pedulikan, tak terlalu saya perhatikan, dan tak terlalu saya hiraukan. Sering bahkan, saya yang mungkin tidak bisa memahami caranya menyayangi, merasa risih dengan perhatiannya, membantah perintahnya, tak mengindahkan nasihatnya. tu kan, kelihatan terlalunya saya yang masih menyebutnya dengan kata"nya". Astagfirullah.

Beginilah kira - kira artikel saya waktu itu:
Saat kau berumur 1 tahun, dia menyuapi dan memandikanmu.
Sebagai balasannya, kau menangis sepanjang malam.

Saat kau berumur 2 tahun, dia mengajarimu bagaimana cara berjalan.
Sebagai balasannya, kau kabur saat dia memanggilmu.

Saat kau berumur 3 tahun, dia memasakkan semua makananmu dengan kasih sayang.
Sebagai balasannya, kau buang piring berisi makanan ke lantai.

Saat kau berumur 4 tahun, dia memberimu pensil berwarna.
Sebagai balasannya, kau coret-coret dinding rumah dan meja makan.

Saat kau berumur 5 tahun, dia membelikanmu pakaian-pakaian yang mahal dan indah.
Sebagai balasannya, kau memakainya untuk bermain di kubangan lumpur dekat rumah.

Saat kau berumur 6 tahun, dia mengantarmu pergi ke sekolah.
Sebagai balasannya, kau berteriak."NGGAK MAU!!"

Saat kau berumur 7 tahun, dia membelikanmu bola.
Sebagai balasannya, kau lemparkan bola ke jendela tetangga.

Saat kau berumur 8 tahun, dia memberimu es krim.
Sebagai balasannya, kau tumpahkan hingga mengotori seluruh bajumu.

Saat kau berumur 9 tahun, dia membayar mahal untuk kursus bahasamu.
Sebagai balasannya, kau sering bolos dan sama sekali tidak pernah berlatih.

Saat kau berumur 10 tahun, dia mengantarmu ke mana saja, dari kolam renang hingga pesta ulang tahun.
Sebagai balasannya, kau melompat keluar mobil tanpa memberi salam.

Saat kau berumur 11 tahun, dia mengantar kau dan teman-temanmu ke bioskop.
Sebagai balasannya, kau minta dia duduk di baris lain.

Saat kau berumur 12 tahun, dia melarangmu untuk melihat acara TV khusus orang dewasa.
Sebagai balasannya, kau tunggu sampai dia di keluar rumah.

Saat kau berumur 13 tahun, dia menyarankanmu untuk memotong rambut, karena sudah waktunya.
Sebagai balasannya, kau katakan dia tidak tahu mode.

Saat kau berumur 14 tahun, dia membayar biaya untuk kempingmu selama sebulan liburan.
Sebagai balasannya, kau tak pernah meneleponnya.

Saat kau berumur 15 tahun, dia pulang kerja ingin memelukmu.
Sebagai balasannya, kau kunci pintu kamarmu.

Saat kau berumur 16 tahun, dia ajari kau mengemudi mobilnya.
Sebagai balasannya, kau pakai mobilnya setiap ada kesempatan tanpa peduli kepentingannya.

Saat kau berumur 17 tahun, dia sedang menunggu telepon yang penting.
Sebagai balasannya, kau pakai telepon nonstop semalaman.

Saat kau berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kau lulus SMA.
Sebagai balasannya, kau berpesta dengan temanmu hingga pagi.

Saat kau berumur 19 tahun, dia membayar biaya kuliahmu dan mengantarmu ke kampus pada hari pertama.
Sebagai balasannya, kau minta diturunkan jauh dari pintu gerbang agar kau tidak malu di depan teman-temanmu.

Saat kau berumur 20 tahun, dia bertanya, "Dari mana saja seharian ini?"
Sebagai balasannya, kau jawab,"Ah Ibu cerewet amat sih, ingin tahu urusan orang!"

Saat kau berumur 21 tahun, dia menyarankan satu pekerjaan yang bagus untuk karirmu di masa depan.
Sebagai balasannya, kau katakan,"Aku tidak ingin seperti Ibu."

Saat kau berumur 22 tahun, dia memelukmu dengan haru saat kau lulus perguruan tinggi.
Sebagai balasannya, kau tanya dia kapan kau bisa ke Bali.

Saat kau berumur 23 tahun, dia membelikanmu 1 set furniture untuk rumah barumu.
Sebagai balasannya, kau ceritakan pada temanmu betapa jeleknya furniture itu.

Saat kau berumur 24 tahun, dia bertemu dengan tunanganmu dan bertanya tentang rencananya di masa depan.
Sebagai balasannya, kau mengeluh,"Aduuh, bagaimana Ibu ini, kok bertanya seperti itu?"

Saat kau berumur 25 tahun, dia mambantumu membiayai penikahanmu.
Sebagai balasannya, kau pindah ke kota lain yang jaraknya lebih dari 500 km.
Saat kau berumur 30 tahun, dia memberikan beberapa nasehat bagaimana merawat bayimu. Sebagai balasannya, kau katakan padanya,"Bu, sekarang jamannya sudah berbeda!"

Saat kau berumur 40 tahun, dia menelepon untuk memberitahukan pesta ulang tahun salah seorang kerabat.
Sebagai balasannya, kau jawab,"Bu, saya sibuk sekali, nggak ada waktu."

Saat kau berumur 50 tahun, dia sakit-sakitan sehingga memerlukan perawatanmu.
Sebagai balasannya, kau baca tentang pengaruh negatif orang tua yang menumpang tinggal di rumah anak-anaknya. Dan hingga suatu hari, dia meninggal dengan tenang. Dan tiba-tiba kau teringat semua yang belum pernah kau lakukan, karena mereka datang menghantam HATI mu bagaikan palu godam.(opinum.com)

Merasa bandel. Dan hal ini baru saya sadari betapa ikhlasnya beliau terhadap saya yang sudah keterlaluan ini. Contoh sederhana, setiap kali berangkat ke kampus, begitu banyak perbekalan yang beliau siapkan, akan tetapi saya enggan, karena merasa "wes gedhe", dan malu membawa barang-barang yang disiapkan oleh beliau, meskipun ketika pamit masih sempat cium tangan, akan tetapi saya menjawab salam beliau sambil ngeluyur saja. Yang memasak masakan untuk keluarga, bangun di tengah pekatnya malam yang panjang untuk berkutat di dapur. Mencuci pakaian bapak, dan adik - adikku. Ditambah lagi, jika Anda sempat berjalan di pasar sayur Magetan, masuk melalui pintu barat, dan melihat deretan penjual gerabah, di situlah tempat wanita paruh baya, yang kusebut ibu ini mencari nafkah. Akhir-akhir ini saja, saya baru benar-benar merasa betapa bodohnya saya, menyia-nyiakan beliau(dalam artian tidak terlalu perhatian), bahkan untuk sekedar mengucapkan aku sayang ibu saja merasa gengsi. Beberapa waktu lalu, saat saya pulang ke desa, skenario Allah menghendaki demikian,dialog seorang ibu dengan 4 anak perempuannya. Space luang antara April, Mei, Febri dan Yunita. Sebagai anak tertua, saya merasa lelah dengan ulah adik - adik saya yang "wow" ramenya di rumah, tidak mengindahkan perkataan ibu, apalagi yang paling kecil, yang baru 2 tahun itu, hmmm, bikin gemes aja rasanya. saya sudah kewalah mengaturnya. Tapi saat itu, ibu hanya tersenyum, kemudian berkata, "Kowe ki luwih ngeselne timbangne Febri", whatz, saat itu saya tak percaya, mengasuh Febri saja sudah menguras tenaga, apalagi yang lebih  usil, ohh, tidaaak. Kemudian tiba - tiba ibu bertanya, "nduk, koncomu ki wes rabi kabeh lho.", saya terperangah dengan statement itu, memang tak sampai sebuah pertanyaan seperti yang dilontarkan bapak beberapa bulan lalu, tentang siapa pacarku, tapi saya menangkap maksud kekhawatiran ibu saya. Saya berusaha menjelaskan mengenai hal - hal yang menjadi "keputusan" saya, termasuk satu kata yang sebenarnya saya juga tidak terlalu  mafhum dengan hal ini, "ta'aruuf". Meskipun sulit menerima, tapi orang tua saya tidak terlalu merongrong pertanyaan ini lagi, (beban rek ternyata dapat pertanyaan seperti ini, meskipun saya sering guyon tentang euforia nikah), dan menyuruh untuk fokkus kuliah biar segera dapat kerja. fyuh, alhamdulillah.
So ikhwah, apalagi yang aktivis tu, jangan lupain kasih ibu ya. Jika ibu kita masih ada, jangan sungkan untuk mengekpreskan sayang kalian. dan jika ibu kita sudah tiada, ingatlah, anak yang sholeh adalah bekal yang akan menemani beliau di akhirat sana. : )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fitrah Based Education

Gajah Abrahah

Watch