Belajar dari Srikandi Mungil


Petang hari di kota Malang, saat aku menyendok es krim strawberry dari cup kecil itu, terpampang wajah Febri pada wallpaper HPku, si bungsu yang baru berusia 1 tahun 10 bulan di keluargaku. Entah kenapa, melihat es krim itu, aku jadi teringat unyil –unyilku di rumah. Unyil adalah sapaanku di rumah untuk memangil adik – adikku. Di keluargaku hanya bapaklah yang paling tampan, bagaimana tidak, 4 dari 5 anaknya adalah perempuan, ada satu yang lelaki tapi meninggal. Dan uniknya lagi, entah apa yang membuat bapak terinspirasi, semua nama anaknya mengandung unsur bulan, Mei Yunlusi, alm. Mei Yoga, Yunita ani, Aprilliudana dan terakhir, Febrian Elly.
Mei Yoga Fajar Afwandi, satu – satunya anak lelaki yang dimiliki bapak, hanya beberapa tahun saja berada di tengah – tengah kita, Allah kembali memintanya sehingga ia tidak lama bisa mewarnai keceriaan keluarga. Rasa sedih pasti ada, karena bapak menginginkan punya anak lelaki yang diharapkan bisa menjadi penerus impian bapak yang tidak mungkin diwariskan kepada anak perempuannya, hanya tebakanku saja, karena dulu bapak adalah pemain sepak bola. Ternyata Allah berkehendak lain, sepeninggal Yoga, personil tambahan di keluargaku adalah 3 srikandi, dengan kata lain, semua adikku adalah perempuan. Dengan sikap konyolku saat itu, yang kukatakan kepada bapak di hari kelahiran adikku yang terakhir melalui telepon karena aku sedang studi di Surabaya, “ Putri maleh pak? Tenang mawon, mangke kulo padosaken mantu jaler”(Putri lagi pak? Tenang saja, nanti saya carikan menantu lelaki), dan bapak hanya tertawa mendengar jawabanku itu, sudah pastilah aku mencari suami lelaki, dengan asumsi aku masih normal. : )
Suasana yang penuh romantika, keceriaan, kebisingan, kericuhan karena seorang perempuan saja umumnya bawelnya sudah minta ampun, apalagi ada empat srikandi dengan masing – masing tingkah polah dan karakternya. Aku dengan karakterku yang keras namun mengakomodir, sebagai anak pertama yang terkadang “sok ngatur” dan “sok tau” akan keputusan yang harus diambil karena merasa memiliki ego dan kuasa anak pertama. Kemudian Ani yang bawelnya minta ampun dan susah diatur, April yang hobinya “mbolang” dan “grasakan” ke sawah – sawah dan sungai di belakang rumah, dan yang terakhir Febri, si kecil yang menghabiskan energi karena tidak bisa diam. Jika berhadapan dengan kami semua, biasanya bapak terpancing emosinya. Untungnya ada seorang dewi sri yang sangat luar biasa sabarnya menghadapi anak – anaknya, yakni ibuku. My Lovely Mommy.
Dalam kisah kali ini aku hanya akan menguraikan karakter salah satu adikku. Seorang guru kecil yang mengajariku banyak hal. Tak hanya latihan bagaiman mengurus anak, tapi lebih dari itu, memahami karakter anak. Tak terasa sudah hampir dua tahun si bungsu itu menyemarakkan keluarga, meski jarang melihat dan bisa mengikuti perkembangannya secara langsung karena aku harus melanjutkan studiku di Surabaya dengan segala aktivitas di sini, sementara keluargaku tinggal di Magetan, akan tetapi kusempatkan setiap tiga hari sekali memantau kabar rumah via telepon. Meski kadang jawaban yang kudapat dari bapak adalah, “nek gak penting gak sah telepon”(kalau tidak ada kepentingan tidak perlu telepon), apa yang salah batinku, toh aku yang telepon, namun aku bisa menangkap maksud dari bapak, Beliau hanya mengajariku hemat, efektif dan efisien dalam berkomunikasi.
Ada banyak hal yang bisa kupelajari dari pengamatan dan interaksiku dengan Febri, yang terkadang kutiru dan kuimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari. Tentang seni menghadapi hidup ala anak kecil. Siapapun dan dimanapun aku berada, aku akan mencari ilmu dan menangkap maknanya, karena pembelajaran hidup bisa terjadi dimanapun dan kapanpun, insyaAllah. Termasuk pada guru kecilku ini, lucu juga rasanya, saat Febri seumuran dengan anak – anak temanku di desa, dia malah jadi adikku, selisih usia yang sangat jauh. Pesan dari allah yang kutangkap adalah, aku harus belajar melatih dan mendidik anak sebelum punya anak beneran. Tidak ingin melewatkan peluang, belajar di sekolah kehidupan yang gratis dengan guru yang menyenangkan, hal itu yang kulakukan.
Seorang anak kecil dengan keluguan dan kepolosannya menyimpan banyak aura kedewasaan yang tidak dimiliki seorang “dewasa”. Aku baru menyadari, bahwa ukuran kedewasaan seseorang tidak terletak pada umur, harta atau kekuasaan, akan tetapi terletak pada hati nurani yang mempengaruhi cara pandang dan penyikapan. Darinya, aku belajar mengenai cara belajar, seorang Febri bisa kukatakan anak yang cerdas, penasaran juga sebenarnya dengan sifatnya yang “slengekan” dan tidak bisa diam. Tapi, adakalanya dia fokus dan tidak bisa diganggu jika sedang mengamati atau menelisik sesuatu. Silakan diuji, jika Anda tidak percaya, hanya dengan sekali mendengar dan mengamati saja, dia bisa langsung menirukan perkataan atau gerakan yang dilakukan obyek matanya. Ilmu yang saya dapatkan disini adalah, fokus pada satu hal, dan kau akan dengan mudah menguasainya secara sempurna.
Kemudian, seorang anak kecil yang dengan sifat individualisnya, dia sering membuat nangis teman sebayanya jika mainan miliknya dikuasai yang lain. Tapi, ada hal menarik dari adikku, dia tau zona pribadinya dan temannya dalam bermain, dia jarang menguasai mainan yang bukan miliknya jika tidak dipinjami atau lebih tepatnya merengek untuk memintanya pada pengasuhnya. Satu hal yang saya amati, privasi, seorang anak kecil saja bisa menghargai privasi orang, kenapa sebagian besar seorang “dewasa” justru menjadikan privasi sebagai komoditas.
Dari studi kasus di atas juga bisa ditemukan satu kedewasaan lagi, yakni tentang arti menerima dan memaafkan. Biasanya, Febri tak segan – segan melakukan tindak kekerasan jika ada yang mencoba mengganggunya, dengan gigitan, atau cakaran, tapi, dendam itu akan hilang dengan sendirinya setelah pertikaian selesai dan mereka kembali akur. Nasihat dari hal ini adalah saling memaafkan. Tak dipungkiri, bahwa kata maaf itu sangat mahal, untuk berkata maaf saja, karena gengsi, seseorang terkadang harus gladi resik dan menganalisa SWOT yang mungkin muncul. Dan, untuk memberi maaf saja, seseorang terkadang harus memasang tampang sok jual mahal agar yang meminta maaf tadi merasa bersalah sekali.
Febri, termasuk anak yang tidak gampang percaya pada orang yang belum dikenal, bahkan kepadaku pun, terkadang harus butuh waktu penyesuaian selama sehari baru mau kuajak bercengkrama. Mengamati tingkahnya dalam masa penyesuaian kita, biasanya dia akan melihat dengan mata yang “mendelik” atau terkadang mempersenjatai dirinya dengan suatu benda yang ada di sekitarnya jika aku mencoba meleburkan diri dengannya dalam fase penyesuaian ini. Pesan dari hal ini adalah kewaspadaan akan hal baru, karena hal baru tersebut memiliki dua kemungkinan, yakni positif dan negatif, dan kita harus cermat untuk menganalisisnya sebelum memutuskan untuk melebur dalam aktivitas itu.
Satu lagi yang kulihat dari sifat seorang anak kecil ialah, kejujurannya dalam berkata dan bertingkah. Tidak ada seorang anak kecil yang munafik dan memilliki seribu wajah untuk terjun ke lingkungan. Azas “this is the trully me” tersebut mengajarkanku untuk bersikap apa adanya dalam bermasyarakat, karena jika kita terlalu memaksakan diri kita memakai topeng sesuai yang diinginkan dan nyaman di mata orang lain, tapi tidak nyaman bagi kita sendiri, hal tersebut hanya akan menyiksa diri, namun, tidak dipungkiri, bahwa terkadang kita memerlukan topeng kebaikan untuk memberi kesan pertama yang positif, tampilkan hal – hal yang positif dari diri kita dan minimalisir hal negatif pada diri kita.
So, buat kita yang mungkin udah pada “dewasa” secara usia, tak ada salahnya kita belajar pada anak kecil untuk menjadi seorang yang benar – benar dewasa, be a good man.
Wallahu’alam bisshowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fitrah Based Education

Gajah Abrahah

Watch